JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan menjalani sidang perkara korupsi dengan agenda pembacaan pledoi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/8/2020). Dalam pledoi Wahyu menyatakan telah kooperatif dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR yang menjeratnya itu sehingga ia meminta dibebaskan dari tuntutan.

"Membebaskan terdakwa l Wahyu Setiawan dari semua penuntutan atau setidak-tidaknya membebaskan terdakwa l dari semua tuntutan hukum," kata penasihat hukum Wahyu, Toni Hasibuan, dalam persidangan yang diikuti Gresnews.com itu.

Menurut Toni, berdasarkan analisis fakta persidangan terungkap rencana pergantian Rizky Aprilia kepada Harun Masiku sebagai anggota DPR-RI merupakan kepentingan PDI-P. Hal itu telah ditetapkan dalam rapat pleno PDI-P yang diatur oleh Jony Tri Istiqomah dan Saiful Bahri dan terdakwa Agustiani Tio Fredelina sebagai kader atau anggota PDI-P untuk dilaksanakan.

Telah diatur oleh Jony Tri istiqomah, Saiful Bahri dan terdakwa Agustiani pada kesemuanya mengetahui bahwa pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR-RI Rizky Aprilia kepada Harun Masiku hanya dapat dilakukan melalui mekanisme internal partai politik dan tidak melalui pengajuan kepada KPU RI.

Toni mengatakan pledoi itu membantah tentang peran Wahyu yang sebenarnya sudah sesuai prosedur dalam menjalankan kewenangannya.

"Ini kan PDI-P mintanya pergantian antar waktu (PAW). PAW itu KPU tidak punya kewenangan. Kewenangan PAW itu adanya di partai politik dan DPR. Jadi partai politik bersurat kepada pimpinan DPR meminta nama yang bersangkutan untuk dilakukan pergantian," kata Toni kepada Gresnews.com usai persidangan.

Ia menjelaskan syarat-syarat PAW itu antara lain meninggal dunia, mengundurkan diri dan segala macam. Intinya adalah karena Rizky sudah dipecat dan diganti maka pimpinan DPR baru bersurat. Siap meminta nama-nama berikutnya yakni nama yang suara terbanyak berikutnya.

"Nah jelas bahwa itu kan cuma otomatis sudah ada namanya. Kan nggak perlu lagi diutak-atik suara terbanyak berikutnya, kan sudah otomatis ada hasil pemilu," jelasnya.

Toni mengatakan konteksnya adalah dakwaan jaksa Pasal 12 UU Tipikor yaitu menerima atau janji, menggerakkan atau tidak menggerakkan berkaitan dengan yang bertentangan dengan jawabannya. Bagaimana mau bertentangan dengan kewajibannya sementara Wahyu saja tidak punya kewajiban itu, tidak punya kewenangan itu.

"Sehingga di dalam posisi ini juga justru kelompok atau pihak Harun Masiku dan kawan-kawan ini yang terlibat, yang aktif meminta Wahyu Setiawan. Sehingga posisinya dia itu adalah penerima yang pasif. Jadi Pasal 12 itu nggak tepat," terangnya.

Agustiani Tio Fredelina, terdakwa lainnya, adalah kader dan caleg dari PDI-P dan sudah ikut dua kali jadi caleg. Pemberian uang itu untuk kepentingan PDI-P. Kemudian yang memberikan adalah orang-orang dari PDI-P. Tapi malah dibilang itu di tangan Wahyu.

"Kan kagak nyambung. Makanya terkesan dipaksakan," katanya.

Wahyu, kata Toni, dianggap menjadi pelaku utama, padahal tidak. Ini yang menjadi lucu, orang yang aktif memberi uang dan berperan aktif itu adalah Saiful Bahri. Akan tetapi Saiful Bahri dan kawan-kawannya hanya divonis 1 tahun 8 bulan penjara dan tuntutan 2 tahun 6 bulan penjara.

"Kan kacau. Wahyu dituntut 8 tahun. Ini nggak adillah. Iya tidak berimbang," tuturnya.

Wahyu didakwa menerima 15.000 dollar Singapura untuk memuluskan permohonan PAW dari kader PDI-P. Namun uang tersebut tetap diberikan meskipun Wahyu sudah menolak surat permohonan tersebut. Dan uang tersebut sudah dikembalikan.

"Tapi uang itu tetap disuruh kasih. Mungkin ada harapan bahwa Wahyu bisa berubah sikapnya ketika dikasih uang itu. Padahal kan nggak juga. Malah justru Wahyu ngomong ke ketua KPU untuk segera menjawab penolakan itu," tandasnya.

Dalam pledoinya itu, Wahyu mengaku bersalah menerima uang 15.000 dollar Singapura dari eks anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina dan Rp500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat Thamrin Payapi.

Namun uang tersebut telah ia kembalikan secara sukarela kepada negara melalui KPK pada tahap penyidikan.

"Saya tidak menikmati uang yang saya terima karena seluruh uang sudah saya kembalikan kepada negara melalui rekening penampungan KPK," ujarnya.

Ia juga menegaskan tidak pernah menerima uang 38.350 dollar Singapura dari Agustiani karena uang tersebut masih berada dalam penguasaan Agustiani.

Wahyu berpendapat, tuntutan 8 tahun penjara, denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 4 tahun sangat berat dan tidak adil baginya.

Ia pun menilai tuduhan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menyebutnya telah mengkhianati kedaulatan rakyat sebagai tuduhan yang tidak benar dan sangat kejam. (G-2)

 

 

BACA JUGA: