JAKARTA - Bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan diganjar hukuman enam tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti menerima suap dari Saiful Bahri, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan untuk Pergantian Antar Waktu (PAW) periode 2019-2024.

Vonis itu lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa yang menuntut Wahyu delapan tahun penjara.

"Wahyu Setiawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primair dan korupsi sebagaimana dakwaan kumulatif kedua," kata Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani dalam sidang yang diikuti Gresnews.com, Senin (24/8/2020).

Kendati dinyatakan bersalah hakim tidak mencabut hak politik Wahyu. Dalam hal ini majelis tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum yang meminta pencabutan hak politik terdakwa.

"Karena tidak ada alasan pemaaf dan pembenar sebagaimana hukum pidana karena terdakwa dijatuhi hukum pidana namun masih bersifat pembinaan," ujar Susanti.

Tapi majelis juga menolak permohonan justice collaborator (JC) Wahyu karena tidak sesuai dengan syarat sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung.

Wahyu sebelumnya mengajukan diri sebagai saksi pelaku (JC). Alasannya karena ia ingin membongkar keterlibatan pihak-pihak mana saja yang ada dalam kasus PAW ini.

Sementara itu terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu bekas anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridellina divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.

Vonis tersebut juga lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni empat tahun dan enam bulan penjara serta denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.

Wahyu bersama Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau setara dengan Rp600 juta dari Saeful Bahri.

Suap tersebut agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan PAW anggota DPR Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Selain itu, Wahyu terbukti menerima uang sebesar Rp500 juta dari Sekretaris KPU Daerah (KPUD) Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi calon anggota KPU daerah (KPUD) Provinsi Papua Barat periode 2020-2025.

Wahyu dan Agustiani dinyatakan melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Khusus untuk Wahyu, ia juga dinyatakan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Menurut hakim, perbuatan keduanya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Perbuatan para terdakwa telah mencederai ekonomi sebagai proses demokrasi yang berlandaskan UUD dan kedaulatan rakyat. Terdakwa telah menikmati keuntungan atas perbuatannya.

Keadaan yang meringankan Wahyu, ia telah mengembalikan uang 15 ribu dollar Singapura dan uang Rp500 juta kepada negara melalui rekening KPK dan statusnya sebagai kepala keluarga.

Pihak jaksa penuntut KPK dan kuasa hukum Wahyu belum menentukan upaya hukum lanjutan atas vonis majelis hakim tersebut.

Plt Juru Bicara Ali Fikri mengatakan KPK akan segera mengambil langkah hukum setelah lebih dahulu mempelajari salinan lengkap putusan tersebut. Termasuk dalam hal ini tentu juga mengenai pencabutan hak politik dan permohonan JC oleh terdakwa.

Sementara itu, kuasa hukum Wahyu, Tony Hasibuan, mengatakan untuk dakwaan kedua itu, Wahyu tidak pernah diperiksa. Dakwaan kedua yaitu penerimaan suap dari Sekretaris KPUD Papua Barat.

Artinya secara formil dakwaan kedua itu harusnya digugurkan. "Karena suatu proses penuntutan harus dimulai dari penyidikan. Kalau tidak ada penyidikan secara otomatis penuntutan itu tidak bisa dilakukan. Itu poinnya," kata Tony usai sidang kepada Gresnews.com.

Atas vonis itu, penasihat hukum mengatakan harus berkoordinasi dengan Wahyu terlebih dulu.

"Kebetulan terdakwa 1 itu tidak bisa dihadirkan. Biasa sidang di gedung C1, karena ada salah satu tahanan di Rutan Guntur yang positif COVID maka diputuskan tidak disidang itu. Makanya kita belum sempat koordinasi tapi sebelum-sebelumnya kita berdiskusi, kita pikir-pikir dulu bagaimana dalam putusan ini," ujarnya. (G-2)

 

BACA JUGA: