JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dijatuhi hukuman 8 tahun pidana penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Wahyu juga dituntut  hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih sebagai pejabat publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana.

"Menuntut, menyatakan terdakwa Wahyu Setiawan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata JPU KPK Takdir Suhan saat membacakan tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat yang dihadiri Gresnews.com, Senin (3/8/2020).

Takdir menyatakan Wahyu terbukti menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Saeful Bahri. Suap itu diberikan agar Wahyu mengusahakan KPU memilih caleg PDIP kala itu, Harun Masiku, menjadi anggota DPR lewat pergantian antarwaktu.

Dalam menyusun tuntutan, jaksa memiliki sejumlah pertimbangan, baik yang memberatkan maupun meringankan.

Hal yang memberatkan, Wahyu tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dan perbuatannya berpotensi mencederai hasil Pemilu. Sementara itu untuk hal meringankan, Wahyu dinilai sopan selama persidangan, serta mengakui dan menyesali perbuatannya.

Atas perbuatannya itu Wahyu dinilai melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain suap, jaksa juga menilai Wahyu terbukti menerima gratifikasi sejumlah Rp500 juta terkait seleksi anggota KPU Daerah Papua Barat periode 2020-2025.

Uang diberikan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo. Uang diduga diberikan agar Wahyu mengupayakan orang asli Papua terpilih menjadi anggota KPUD.

Atas perbuatannya itu, Wahyu diyakini melanggar melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

JPU KPK Ronald Worotikan juga menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Wahyu sebab Wahyu dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus suap.

Jaksa menilai Wahyu  tidak layak untuk dapat ditetapkan sebagai JC karena yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 bahwa JC adalah bukan mereka yang sebagai pelaku utama.

Ronald menjelaskan, JC dapat diterima permohonannya dalam beberapa catatan. Pertama, bila terdakwa bukan pelaku utama; kedua, bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya dan pihak lain yang memilki peranan lebih besar.

Sedangkan menurut catatan Ronald dan tim jaksa KPK, Wahyu selama persidangan sering berkelit dengan sejumlah bantahan dalam membuka adanya dugaan keterlibatan pihak lain.

"Seperti mengenai uang yang diterima dari Saeful Bahri tidak terkait surat permohonan penggantian caleg Harun Masiku di KPU RI, dan mengenai uang yang ditransfer Rosa Muhammad Thamrin Payapo adalah disebut untuk bisnis properti," tegas Ronald.

Adapun  pengacara Wahyu, Fuad Abdullah, menyatakan akan menyampaikan pledoi terhadap kliennya tersebut. "Langkah selanjutnya kita akan melakukan pembelaan, pledoi untuk minggu depan," ujarnya kepada Gresnews.com usai sidang.

Selain itu, Zainuri Machroji, penasihat hukum Wahyu lainnya, menambahkan jaksa telah menuntut sesuai kewenangan mereka. "Kami juga nanti punya hak jawab pada tanggal 10 Agustus, Senin depan," kata Zainuri.

"Dan nanti hak jawab kami di pembelaan kami, mungkin kami juga akan membela yang lebih bagus," tandasnya.

(G-2)

 

BACA JUGA: