JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap pemerintah Indonesia menolak permintaan pemerintah Australia menyelamatkan warganya, terpidana Duo Bali Nine, dari eksekusi mati menuai ekses. Salah satunya kemungkinan terjadinya serangan cracker dari negara luar termasuk Australia terhadap sistem keamanan informasi nasional.

Pakar Keamanan Sistem Informasi dan Komunikasi Pratama Persadha mengatakan serangan dari para cracker akan meningkat.  Memanasnya hubungan Indonesia dengan Australia khususnya jadi momentum para cracker menunjukkan jati dirinya.

"Pasti akan meningkat, mereka menunggu momen yang pas untuk melakukan serangan. Mereka akan mengatakan jika yang dilakukannya tidak salah karena membela negara," kata Ketua Lembaga Riset CISSReC ini kepada Gresnews.com, Selasa (10/3).

Seperti apa bentuk serangan yang bakal dilakukan para cracker? Pertama, dengan merusak tampilan wajah website. Kedua, mengirimkan data yang massif sehingga menyebabkan server rusak. Ketiga merusak software maupun hardware melalui virus.

"Yang paling parah, kelompok cracker yang terorganisasi akan mencuri data pemerintah kita. Ini yang tidak bisa terlihat, tiba-tiba mereka punya data rahasia negara kita," jelas Pratama.

Apalagi saat ini Wikileaks berencana mengungkap penyadapan pemerintah Australia terhadap Jokowi membuat gaduh dunia maya. Pratama mengatakan gaduh soal penyadapan di Indonesia terbilang cukup terlambat. "Pada dasarnya setiap negara melakukan usaha penyadapan terhadap negara lain untuk memastikan kepentingan nasionalnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama," tandasnya.
 
Indonesia juga menjadi target penyadapan bagi negara lain. Apalagi, provider yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya milik usaha dalam negeri dan satelit pun masih menyewa asing. Jadi jangan anggap remeh kepemilikan asing di sektor strategis, terutama telekomunikasi dan informasi.

Dikatakannya, segala macam komunikasi lewat udara (over the air), apalagi lewat kabel bisa disadap. Penyadapan lewat provider bisa dilakukan dengan sangat mudah. Karena teknologi enkripsi yang digunakan sangat standar yakni jaringan GSM A51 untuk 3G dan GSM A52 untuk 2G.

"Karena teknologi GSM  sangat standar, jadi mudah disadap. Sehingga mungkin juga penyadapan  dilakukan pihak lain tanpa sepengetahuan operator telekomunikasi," jelas mantan Ketua Tim IT Lems untuk Kepresidenan ini.

Terkait aksi penyadapan oleh asing, Pratama menekankan pada usaha preventif, antara lain penggunaan teknologi enkripsi. Selain itu dia menambahkan perlunya pengamanan lebih pada wilayah-wilayah strategis.
 
Dia menjelaskan ada alat sadap yang punya jangkauan 2 km lebih. Artinya pemerintah harus tegas dengan sterilisasi kawasan-kawasan strategis seperti kawasan istana negara. Jangan sampai ada pihak yang dengan mudah menaruh alat sadap di sekitar wilayah strategis tersebut.
 
"Waspadai mobil yang diduga membawa alat sadap disekitar istana dan wilayah strategis," imbau Pratama.
 
Dia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang membolehkan negara asing membuka kantor kedutaan di dekat istana negara. Dalam pandangan intelejen, wajib mencurigai pada siapapun yang berpotensi mencuri informasi dari kita, termasuk kedubes negara asing, kata Pratama.
 
Lokasi Kedubes Amerika Serikat yang berlokasi dekat istana misalnya,  masih diberi izin untuk merenovasi gedung kedubes sampai dengan sepuluh lantai. "Artinya apa? Mereka bisa melakukan penyadapan ke seluruh area strategis di Jakarta," terangnya.

Sementara itu salah satu Bloger Indonesia Pandi Merdeka mengatakan hingga saat ini belum ada serangan para cracker maupun bloger asing khususnya dari Australia terhadap kasus eksekusi mati Duo Bali Nine Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.

"Saya lihat masih belum ada itu, datar saja. Juga cracker mereka," kata Pandi.

Sebelumnya perang siber antara Indonesia dan Australia pernah terjadi saat meruak isu penyadapan Australia terhadap sejumlah pejabat Indonesia pada era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini terkuak kepada publik pada November 2013 lalu. Informasi ini berdasarkan dokumen yang dibocorkan mantan analis badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), Edward Snowden.

Ketika itu saling serang terjadi, sejumlah situs pemerintah Australia seperti situs polisi federal australia (http://www.afp.gov.au/)  dan situs bank sentral Australia http://www.rba.gov.au/ sempat lumpuh oleh peretas yang tergabung dalam Indonesia Security Down Team. Seperti dikutip ABC, kedua institusi ini telah membenarkan server-nya jebol. Situs polisi federal rontok pada Rabu, 20 November 2013 pukul 10 malam, sedangkan bank sentral jam 2 dinihari tadi.

Serangan peretas ke situs polisi federal menggunakan metode distributed denial of service (DDOS). Penyerangan dengan metode DDOS berbeda defacing yang masuk ke server dan mengubah tampilan. DDOS merupakan serangan ke server dengan mengirim "paket" secara bersamaan sehingga server tak bisa menampungnya dan akhirnya rontok.

Peretas Australia pun tak tinggal diam. Mereka telah melumpuhkan situs Polri beberapa waktu lalu. Anonymous Australia juga menyerang sejumlah situs seperti Garuda Indonesia.

BACA JUGA: