JAKARTA - Dalam acara peringatan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada 9 Desember 2019, Presiden Joko Widodo memberikan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai kemungkinan penjatuhan hukuman mati bagi koruptor yang dilontarkan oleh salah satu siswa di SMKN 57 Jakarta. Presiden menyatakan tidak menutup kemungkinan penjatuhan hukuman mati dalam kasus korupsi jika masyarakat memang menghendaki.

Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan presiden sepertinya perlu berkali-kali diingatkan bahwa agenda melanggengkan budaya penal populism semacam itu merupakan penghalang terbesar dalam perumusan kebijakan rasional yang berbasis bukti (evidence-based policy).

"Kami menilai bahwa penghukuman keras seperti hukuman mati, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, justru malah tidak akan efektif," kata Anggara dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (10/12).

ICJR mengingatkan Presiden agar berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi. Penggunaan hukuman yang keras selama ini tidak pernah menunjukkan hasil yang diharapkan. ICJR memandang bahwa pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.

Negara-negara yang menduduki 20 peringkat tertinggi Indeks Persepsi Korupsi mayoritas berasal dari kawasan Australia dan Eropa seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Swiss, Belanda, Norwegia, Inggris, dan Jerman yang nilainya mencapai kisaran antara 70 hingga 91 dari total nilai tertinggi 100. Sedangkan negara Tiongkok, sekalipun telah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tidak mengalami peningkatan nilai yang signifikan. Sejak 2015 hingga 2018, nilai Indeks Persepsi Korupsi negara Tiongkok masih berkisar antara 37 hingga 41.

Nilai tersebut pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang berkisar antara 36 hingga 38 pada 2015 hingga 2018. Dengan demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap tren korupsi. Namun sebaliknya, tanpa menerapkan hukuman mati pun, negara-negara seperti di kawasan Australia dan Eropa tersebut terbukti dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi.

Kemudian, penerapan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi akan menjadi kontraproduktif, khususnya dalam konteks penindakan dengan metode ekstradisi pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Program Mutual Legal Assistance (MLA) yang merupakan kerja sama bilateral antara Indonesia dan negara-negara lain kemungkinan besar tidak akan dapat berjalan. Menurut hukum yang berlaku di negera-negara Eropa, Australia, dan Argentina misalnya, permohonan ekstradisi akan ditolak apabila orang yang akan diekstraidisi berpotensi diancam dengan pidana mati atau apabila negara yang menjadi tujuan ekstradisi tidak dapat menjamin bahwa pidana mati tidak akan diterapkan pada orang yang diekstradisi.

"Oleh karenanya, pilihan untuk menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi," katanya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, ICJR kembali mengingatkan agar Presiden dapat menghindari budaya penal populism khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penal populism hanya mengandalkan suasana emosional sesaat tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan berbasis bukti/data yang dapat mendukung pemilihan kebijakan yang dimaksud.

Tidak heran, kebijakan-kebijakan yang dilandasi dengan nuansa penal populism pasti tidak akan pernah dapat meraih tujuan dan target yang diharapkan. Sehingga untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, Presiden perlu mendorong gebrakan-gebrakan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan mereformasi sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar lebih transparan dan akuntabel. (G-2)

BACA JUGA: