JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap pemerintah Indonesia menjadi ambigu dalam pelaksanaan eksekusi mati untuk memerangi kejahatan narkoba. Di satu sisi pada level internasional Indonesia mengambil posisi abstain untuk Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (A/RES/71/187) tentang Moratorium Penggunaan Hukuman Mati dalam Sidang Umum PBB di New York kemarin. Sikap tersebut lebih moderat ketimbang sikap sebelumnya pada empat tahun yang lalu menolak isi resolusi.

Namun kondisi di dalam negeri berbeda, Kejaksaan Agung justru tengah menyiapkan pelaksanaan eksekusi mati tahap IV pada 2017 nanti. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Noor Rachmad mengatakan eksekusi mati akan dilakukan mengingat anggaran masih tersisa. Dan lagi ada tunggakan terpidana mati yang belum dieksekusi. Namun Noor enggan menyampaikan waktu pelaksanaan eksekusi mati.

"Belum lah, nanti itu soal waktunya, ini kan jangan sampai membuat gaduh," kata Noor di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (28/12).

Dia menjelaskan pelaksanaan eksekusi mati tetap masuk program mengingat masih adanya tunggakan 10 terpidana mati yang belum dieksekusi mati pada pelaksaan eksekusi tahap III lalu. "Temen-temen tahu kan ada anggaran yang masih sisa yang lalu," jelasnya.

Dia menegaskan kejaksaan selaku eksekutor akan melihat kondisi dan situasi, agar pelaksaan ekskusi mati gelombang IV tidak menganggu program-program prioritas pemerintah. "Sesuai dengan ‎Pak Jaksa Agung sudah menginformasikan ada tugas-tugas penting lainnya yang lebih diutamakan," tutupnya.

Sebelumnya, Kejagung telah mengeksekusi empat dari sepuluh terpidana mati kasus narkoba, yakni Freddy Budiman (warga Indonesia), Michael Titus Igweh (Nigeria), Humphrey Ejike (Nigeria), dan Seck Osmane (Senegal).

Sementara sepuluh terpidana mati yang belum dieksekusi mati yakni Zulfiqar Ali, Merri Utami, Gurdip Singh, Onkonkwo Nonso Kingsley, Obina Nwajagu, Ozias Sibanda, Federik Luttar, Eugene Ape, Pujo Lestari , dan Agus Hadi.

Soal pelaksanaan eksekusi mati tahap IV pernah disampaikan Jaksa Agung Moh Prasetyo usai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI. Prasetyo mengatakan mereka yang akan dieksekusi mati mayoritas penjahat narkoba.

"Kalau ini kan kita masih prioritaskan narkoba ya, itu dulu yang kita prioritaskan," ujar Prasetyo, Selasa (6/12/2016).

Namun Prasetyo tidak mau menjelaskan kapan akan dilaksanakan eksekusi mati gelombang IV. Dia mengatakan, pelaksanaan eksekusi mati gelombang IV akan dilakukan pada waktu yang tepat.

SIKAP INDONESIA DI LUAR - Pada April 2016, Indonesia memimpin penyampaian posisinya bersama sejumlah Like-Minded Countries/LMCs (Negara-Negara Sepaham, red) pada pembukaan the United Nations General Assembly Special Session/UNGASS (Sesi Khusus Sidang Umum PBB mengenai Masalah Narkoba Dunia) di Markas PBB New York.

Negara-negara LMCs yang satu posisi dengan Indonesia yakni RRT, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Mesir, Saudi Arabia, Yaman, Oman, Kuwait, Bahrain, Iran, dan Sudan. Negara-negara tersebut menolak penghapusan hukum mati.

Namun pada dalam Sidang Umum PBB di New York, Indonesia yang bersama dengan 31 negara lain di PBB mengambil posisi abstain untuk Resulosi PBB (A/RES/71/187) tentang Moratorium Penggunaan Hukuman Mati.

Human Rights Working Group (HRWG) mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia itu. Indonesia menjaga posisi sebagai negara abstentionts setelah empat tahun yang lalu mengubah dari posisi menolak resolusi. Sementara, 117 negara setuju isi resolusi dan 40 negara lainnya menolak resolusi.

Apresiasi sikap pemerintah Indonesia di tingkat internasional ini mengingat situasi yang berbeda dengan dinamika politik nasional yang masih gencar menerapkan hukuman mati. Tercatat, 18 orang dieksekusi dalam tiga gelombang pada tahun 2015 dan 2016 untuk kasus kejahatan narkotika.

HRWG bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Penghapusan Hukuman Mati (Koalisi Hati) telah mengirimkan surat pada 17 November 2016 kepada Pemerintah Indonesia untuk meneruskan sikap tersebut pada Resolusi tahun 2016.

"Bukan hanya sebagai suatu komitmen Pemerintah Indonesia sebagai Negara yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia, sikap tersebut kami pandang sebagai jalan tengah bagi situasi hukuman mati di Indonesia saat ini, seperti proses pembahasan KUHP di DPR yang mengarahkan pada hukuman mati sebagai hukuman alternatif," kata Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam siaran persnya di Jakarta, (28/12)

HRWG memandang, Pemerintah Indonesia harus melanjutkan peranan signifikannya dalam membangun kesepahaman di antara negara-negara yang mendukung maupun menolak Resolusi tersebut, dengan tetap menegaskan prinsip rule of law dan penegakan hukum yang fair. Selain itu ikut memperkuat adanya safeguard dalam proses peradilan, penegakan hukum dan pelaksanaan hukuman mati.

Lebih dari itu, dengan proses reformasi dan perbaikan di level nasional saat ini, HRWG sangat mendukung bila Pemerintah Indonesia dapat mendukung Resolusi tersebut dengan sikap in favour dan menegaskan bahwa Indonesia akan terus berkomitmen untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

Di level ASEAN, resolusi ini sedikit mengalami kemunduran paska Filipina mengubah posisinya dari in favour (mendukung) menjadi abstain. Hanya Kamboja yang masih mendukung resolusi dan seperti sudah diprediksi sebelumnya, Malaysia dan Singapura adalah negara yang menolak resolusi.

Program Manager ASEAN HRWG Daniel Awiga menjelaskan egara-negara ASEAN sedang berada di tengah persimpangan jalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan kejahatan, termasuk peredaran gelap narkotika. Dengan dalih perang terhadap narkotika, mereka justru mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Menurutnya istilah perang bukanlah pengertian yang tepat untuk rangkaian tindakan melawan narkotika. Dalam peperangan sekalipun, segala upaya perlu dilakukan untuk melindungi korban sampingan.

Awigra melanjutkan, hukuman mati dan extra-judicial killings (pembunuhan diluar pengadilan) adalah tindakan yang melawan hak asasi manusia dan telah terbukti tidak meniadakan tindakan ataupun menurunkan angka kejahatan narkotika. Dewasa ini terdapat fakta yang menunjukkan adanya tren yang mengkhawatirkan di wilayah Asia Tenggara dalam hal negara-negara menyelesaikan kejahatannya. Terlebih, kawasan ini adalah kawasan yang rentan khususnya bagi kelompok buruh migran yang rentan dieksploitasi menjadi korban sampingan sindikat kejahatan narkotika.

Arti penting resolusi -meskipun tidak mengikat secara hukum- bagi negara retensionis (negara yang masih menerapkan hukuman mati, seperti Indonesia) adalah langkah penting menuju penghapusan hukuman mati. Hasil dari resolusi ini mencerminkan tren global menuju penghapusan hukuman mati. Di dalamnya, Majelis Umum menyebutkan karakter irreversibel dari hukuman mati dan menyatakan pendiriannya bahwa moratorium penggunaan hukuman mati adalah kontribusi untuk menghormati dan peningkatan martabat manusia dan hak asasi manusia.

Resolusi itu menyerukan kepada semua negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk menghormati standar internasional yang memberikan perlindungan dan menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi hukuman mati, khususnya standar minimum.

BACA JUGA: