PELUANG kerja sama bilateral yang terjalin antara Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste diyakini mampu memupus ganjalan yang pernah dirasakan oleh masyarakat antarkedua negara.

"Disadari ada persoalan yang belum selesai dan harus dituntaskan. Itu butuh waktu yang tidak bisa ditempuh dalam waktu setahun atau dua tahun," ucap Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin saat berbincang dengan gresnews.com, Jakarta, Sabtu (19/5). Pernyataan politisi PDI Perjuangan itu menanggapi peringatan Hari Kemerdekaan Timor Leste yang diperingati pada hari ini.

Bagaimana pemerintah kedua negara bisa menempuh upaya kerja sama, misalnya kerja sama di bidang ekonomi, apabila masih ada yang mengganjal? "Harus ada upaya simultan, kerja sama politik dan ekonomi serta kultural. karena orang Timor Leste dan Nusa Tenggara Timur itu hampir sama. Kultur itu bisa terjalin dengan baik kalau secara simultan terjadi penyelesaian masalah itu. Kalau kita menutup diri, maka kita akan menimbulkan ketegangan yang tidak ada artinya karena tak menguntungkan bagi kedua belah pihak," ujarnya.

Pendapat senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Center for Democracy, Diplomacy and Defence (IC3D), Teuku Rezasyah. "Kita harus menghilangkan trauma sejarah ini. Patut disadari, bahwa dengan bergabung bersama Indonesia sekitar 23 tahun lamanya, pencapaian Timor Leste jauh lebih banyak ketimbang keberadaannya sekitar 300 tahun di bawah Portugal," ujarnya.

Rekonsiliasi
Tubagus Hasanuddin menambahkan, penyelesaian itu tergantung situasi hubungan kedua negara. "Secara prinsip ada masalah administrasi, juga menyangkut problem bargaining antarkedua belah pihak. Selama itu belum terselesaikan dengan baik, kondisi kedua negara masih tidak bagus, akan tetap berlarut-larut," ujar politikus PDI Perjuangan itu.

Tubagus menilai, kerja sama bilateral bisa diartikan adanya upaya rekonsiliasi hubungan yang harmonis di antara kedua belah pihak. "Mudah-mudahan kedua belah pihak bisa meredam masalah itu. Walaupun masih ada hak-hak warga negara di masing-masing pihak yang belum terselesaikan," ucapnya.

Menurut dia, ada sejumlah hal yang masih mengganjal dalam hubungan di antara kedua belah pihak. Pertama, yakni adanya problem penegakan hukum dan HAM yang dirasakan pihak warga negara Timor Leste. Mereka menganggap, masalah pelanggaran HAM belum tuntas. "Walaupun ganjalan ini dari hari ke hari semakin surut dan sudah mulai dipahami oleh sebagian masyarakat Timor Leste," ujarnya.

Teuku Rezasyah menambahkan, publik kedua belah negara tidak bisa melupakan faktor warisan sejarah. Apalagi, dalam konteks hubungan kedua negara adalah produk sejarah. "Tahun 1975 itu Indonesia didesak oleh Amerika Serikat dan sekutunya Australia serta sejumlah negara di Eroa barat untuk masuk ke Timor Timur. Itu bukan kemauan Pemerintah Indonesia, melainkan keinginan pihak luar yang tak mau adanya komunisme di wilayah Asia Tenggara karena khawatir bakal berlaku efek domino," ucap Teuku.

Saat itu pihak Barat mengatakan kalau Timor Timur tidak dipegang Indonesia, ibarat Kuba di Benua Amerika yang sangat mengganggu Amerika Serikat. "Jadi pada saat itu sebenarnya kita nggak begitu sreg dengan itu. Tapi Australia mendesak. Dokumen ini termuat dalam parlemen Australia. Jadi tekanan ini yang membuat Indonesia memberanikan diri untuk masuk karena kita masih punya trauma terhadap komunisme tahun 1965," kata Teuku.

Lebih jauh Tubagus mengatakan, ganjalan lainnya dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sebab, ketika akhirnya rakyat Timor Leste memutuskan berpisah dari NKRI, ada masyarakat Indonesia maupun rakyat Timor Leste yang pro Indonesia terpaksa meninggalkan sebagian aset tak bergeraknya di sana. Terutama aset statis seperti rumah, tanah, dan kebun. "Ketika ramai-ramai kan mereka tidak bisa menjual aset itu. Jadi, masih ada yang mengganjal juga. Belum ada solusi yang baik. Termasuk aset-aset toko perumahan dan sebagainya.

BACA JUGA: