JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tensi politik di lingkungan Istana Negara kembali meninggi. Setelah ramai isu "settingan" pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Suku Anak Dalam mereda, kini muncul lagi isu baru terkait adanya peran firma pelobi internasional Pereira International PTE LTD yang dipimpin Derwin Pereira--mantan wartawan The Straits Times, Singapura yang pernah mangkal di Indonesia--dalam mengatur pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama baru-baru ini.

Adalah Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London, Inggris yang menghembuskan isu tersebut. Dalam artikelnya yang berjudul "Waiting In The White House Lobby" di laman New Mandala http://asiapacific.anu.edu.au, Buehler menyebut, Derwin Pereira membayar sebesar US$80.000 kepada firma public relation R&R Partners untuk membantu pemerintah Indonesia melakukan lobi di Amerika Serikat.

Tulisan tersebut diposting di laman New Mandala, pada Jumat (6/11) kemarin. Buehler juga menyertakan sebuah dokumen yang menkonfirmasi tulisannya tersebut. Dalam dokumen bertanggal 8 Juni 2015 yang menurut Buehler dibuka oleh Departemen Kehakiman AS itu disebutkan,  perusahaan jasa konsultan Singapura Pereira International PTE LTD, telah menyepakati kerja sama dengan R&R Partners Inc, perusahaan jasa pelobi asal Las Vegas, Amerika Serikat dengan nilai kontrak US$80.000.

Kontrak itu diteken oleh Sean Tonner selaku President R&R Partners, and Derwin Pereira atas nama Pereira International. Dalam kontrak tersebut disebutkan, R&R akan menyediakan jasa layanan berupa:

1. Menyusun dan melakukan kunjungan untuk pertemuan dengan pembuat kebijakan kunci dan anggota Kongres dan cabang eksekutif termasuk US Department of State--departemen federal setingkat kementerian luar negeri AS yang bertanggung jawab atas isu-isu politik luar negeri;
2. Upaya mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam sesi bersama Kongres selam kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS;
3. Mengindentifikasi dan bekerja dengan individu berpengaruh, media, publik dan organisasi swasta serta afialiasinya di AS untuk membantu upaya Presiden Joko Widodo.

Dalam kontrak itu juga disebutkan, konsultan akan mengkomunikasikan pentingnya posisi Indonesia bagi AS dalam isu-isu keamanan, perdagangan dan ekonomi. Satu hal yang disoroti Michael Buehrer dalam tulisannya itu adalah rekam jejak R&R Partners yang dia sebut tak memiliki pengetahuan apapun tentang politik Indonesia atau pengalaman kerja di Indonesia untuk membantu "mengkomunikasikan arti penting Indonesia bagi AS" seperti dimaksud dalam kontrak itu.

Buehler mengatakan, faktanya Baumgartner yang ditunjuk menjadi konsultan lebih menekankan keahliannya di bidang "gaming law" alias pengetahuan soal perangkat hukum terkait industri perjudian sebagai salah satu keahliannya. Sementara Sean Tonner dalam biografinya hanya menyebut aktivitasnya di masa lalu untuk firma konsultan global yang berbasis di Denver dan sebagai tambahan dia punya keahlian dalam pelatihan peperangan di hutan dan padang pasir.

Secara kontras, Derwin Pereira, konsultan asal Singapura yang membayar uang sebesar US$80.000 ke R&R Partners untuk pemerintah Indonesia, menawarkan jasanya bagi orang-orang kaya dan berpengaruh di Indonesia untuk selama beberapa waktu.

SEKILAS DERWIN PEREIRA - Buehler dalam tulisannya itu juga sedikit menyinggung soal siapa itu Derwin Pereira. Pasca lulus sarjana dari the London School of Economics and Political Science di awal tahun 1990-an, dia bekerja untuk koran berbasis di Singapura The Strait Times dan bertugas meliput di Indonesia dimasa kejatuhan Soeharto. Dia menjadi kepala biro The Straits Times di Indonesia.

Setelah penempatan di Washington, Pereira memulai bisnis konsultannya sendiri dengan mendirikan Pereira International. Dia membanggakan dirinya untuk kemampuannya membangun kontak dengan orang-orang di posisi tertinggi dan akses yang mendalam ke kalangan elit politik dan bisnis di Jakarta, dan mampu menyediakan akses ekslusif ke informasi penting.

Disamping lobi, Pereira juga punya hubungan erat dengan kalangan pemikir di Amerika Serikat. Pereira yang punya gelar master dari Harvard’s Kennedy School of Government membina hubungan dekat dengan alma maternya. Dia juga tidak hanya menjadi anggota badan internasional di Kennedy School’s Belfer Center for Science and International Affairs, tetapi juga mendanai Derwin Pereira Graduate Fellowship untuk membantu pelajar-pelajar Indonesia yang mendapatkan beasiswa program Edward S Mason.

Program tersebut menawarkan pelatihan kebijakan untuk "pemimpin dari negara berkembang, negara yang industrinya baru berkembang dan negara dalam transisi ekonomi. Pereira juga menyeleksi para calon penerima fellowship untuk program yang diadakan oleh Ancora Foundation yang dibentuk oleh Gita Wiryawan, Menteri Perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu orang Indonesia yang pertama kali lolos dari seleksi ketat dalam Program Mason, sebut Buehler adalah Agus Yudhoyono, anak pertama Presiden SBY.

Pereira juga mensponsori Derwin Pereira Indonesia Initiative (DPII), suatu rangkaian perbincangan yang menampilkan politisi terpandang Indonesia di the Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington sejak 2012. Sementara Pereira memiliki rekam jejak lobi yang kuat dengan elit Indonesia, kontrak tersebut tak menyebutkan satu nama pun di pemerintahan yang menyewa Pereira dan R&R Partners.

Tetapi, sebut Buehler, Pereira memiliki hubungan dengan Luhut Panjaitan. Dia menulis beberapa berita terkait Luhut saat bekerja di The Straits Times di Indonesia dan mewawancarainya di Singapura, saat Luhut menjadi duta besar tahun 1999-2000. Website Pereira International kerap memampang foto Luhut Panjaitan yang juga digunakan di website Toba Sejahtera, perusahaan yang aktif di bidang pertambangan dan perkebunan dan dimiliki oleh Luhut. Ini, kata Buehler dalam tulisannya, menunjukkan Pereira dan Luhut saling mengenal dan telah bertemu sebelumnya.

Hanya saja, kata Buehler, tidak ada bukti bahwa Luhut lah yang menginstruksikan Pereira untuk membayar R&R Partners sebesar US$80.000 untuk layanan lobi. Hanya saja kontrak itu memang menimbulkan beberapa pertanyaan. Siapa orang dalam pemerintahan Joko Widodo yang memerintahkan Pereira untuk melakukan pembayaran?

Apakah benar uang pajak rakyat digunakan untuk menyewa firma lobi Las Vegas untuk melayani sebuah layanan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Kedutaan Besar Indonesia di AS? Apakah ini dilakukan dengan koordinasi bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi atau merupakan upaya memotong jalur sang menteri?

Jika iya, kata Buehler, apakah Jokowi mampu mengontrol atas pemerintahannya atau terlalu banyak kepentingan yang saling berkompetisi di lingkaran dalam presiden untuk merancang kebijakan luar negeri koheren?

Buehler sendiri meragukan rakyat Indonesia akan mendapatkan jawabannya. Hanya saja, kata dia, upaya ini dinilai berlebihan mengingat hasil yang dicapai Jokowi di AS dinilai biasa saja. Di dalam negeri kekuatan kekuatan oposisi segera menyerang Joko Widodo untuk tidak melakukan diversifikasi investasi asing di Indonesia. Kesepakatan bisnis senilai US$13 miliar dari US$20 miliar yang dibuat, dinilai akan mengalir ke industri ekstraktif, sektor yang ekonomi Indonesia terlalu tergantung.

Jokowi juga diserang karena mendadak mengumumkan bergabungnya Indonesia dengan Trans-Pacific Partnership. Jokowi dinilai gegabah dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan Indonesia.

KEMENLU MEMBANTAH - Tulisan Michael Buehler itu segera menuai bantahan keras dari Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menegaskan, Pemerintah RI tidak menggunakan jasa pelobi dalam mengatur dan mempersiapan kunjungan Presiden ke Amerika Serikat(AS), termasuk diantaranya mengatur pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Barack Obama, di White House, Washington DC, 26 Oktober lalu.

"Kemlu tidak menggunakan lobbyist atau tidak mengeluarkan sedikitpun anggaran untuk membayar lobbyist dalam mempersiapkan kunjungan Presiden Jokowi ke AS," kata Menlu dalam konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (7/11) seperti dikutip setkab.go.id.

Menlu menegaskan pemberitaan di media sosial yang bersumber dari pengakuan seorang jurnalis AS tersebut tidak benar. Meski mengakui jika menyusun kunjungan bilateral sulit, namun Menlu menegaskan, bahwa Pemerintah Indonesia tidak pernah menggunakan broker.

"Mengadakan kunjungan bilateral antara negara terlihat mudah. Tetapi praktik memakan waktu. Karena saat undangan tersebut diucapkan secara lisan biasanya akan ada undangan secara tertulis," terang Retno.

Dia menegaskan, kunjungan Presiden Jokowi ke AS diatur oleh pejabat dan menteri terkait secara resmi dan formal dengan melalui berbagai rapat, baik dengan Pemerintah AS maupun di internal Pemerintah RI. "Saya sendiri memimpin rapat persiapan kunjungan selama tiga kali pada level menteri pada 17 September, 7 Oktober dan 17 Oktober. Jadi, ada tiga kali persiapan pada tingkat menteri," ujar Retno.

Menlu Retno Marsudi juga menyebutkan, ia sendiri telah melakukan pertemuan bilateral dengan Secretary of the State John Kerry pada 22 September 2015. "Di situ, sekali lagi kami membahas rencana kunjungan, dan di situlah kami announced rencana kunjungan Presiden Jokowi ke AS pada 26 Oktober 2015," ungkapnya.

Menurut Menlu, pembicaraan awal mengenai kunjungan Presiden RI ke AS tersebut terjadi pada saat pertemuan tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Beijing, China, akhir 2014. Pada 10 November 2014, di sela-sela pertemuan APEC, Presiden Jokowi dan Presiden Obama melakukan pertemuan bilateral dan secara lisan Presiden Obama mengundang Presiden RI untuk berkunjung ke negaranya.

Menindaklanjuti pertemuan pada APEC tersebut, lanjut Menlu, pada Maret 2015 Asisten Presiden Obama, Dr Evan Mediros, melakukan kunjungan khusus ke Indonesia untuk menyampaikan undangan resmi Presiden Obama kepada Presiden Jokowi. "Semua data terekam dengan baik dan dalam persiapan tersebut, banyak tim kami yang berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya," tegas Retno Marsudi.

PENUHI UNDANGAN OBAMA - Kemenlu menegaskan kedatangan Presiden Joko Widodo ke AS adalah atas undangan Presiden Obama yang disampaikan langsung pada saat pertemuan bilateral di sela-sela KTT APEC 2014 di Beijing pada 10 November 2014. "Undangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan undangan tertulis yang disampaikan melalui saluran diplomatik," jelas siaran pers Kemlu.

Namun karena padatnya jadwal Presiden Jokowi, undangan ini baru dapat dipenuhi pada tanggal 25-27 Oktober 2015. Pihak Kemenlu menegaskan, sama halnya dengan persiapan kunjungan Presiden RI ke negara-negara lain, persiapan kunjungan ke Amerika Serikat tersebut dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga, parlemen, KBRI Washington DC, Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, serta kalangan bisnis dan para pemangku kepentingan lainnya.

Sementara itu, Duta Besar Republik Indonesia Budi Bowoleksono menilai, tudingan Michael Buehler tersebut sangat tidak berdasar. "Sejak pertemuan pertama Presiden Jokowi dan Presiden Obama di Beijing di sela-sela pertemuan APEC pada Nopember 2014, Presiden Obama telah mengundang Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat," kata Dubes Budi Bowoleksono dalam siaran persnya Sabtu (7/11).

Budi mengemukakan, Presiden Obama melalui suratnya tanggal 16 Maret 2015 telah secara resmi menulis surat kepada Presiden Joko Widodo dan mengundang secara resmi untuk berkunjung ke Amerika Serikat. Surat tersebut pada 19 Juni 2015 telah dibalas oleh Presiden Joko Widodo, dengan menyatakan kesedaiannya untuk berkunjung ke Washington DC pada tanggal 26 Oktober 2015 setelah kedua negara menyepakati waktu yang sesuai bagi Kedua Kepala Negara.

Terkait anggapan bahwa KBRI tidak mampu mensukseskan kunjungan Presiden RI, Dubes Budi Bowoleksono menilai anggapan tersebut sangat tidak merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ia menyebutkan, sejak November 2014, sesuai instruksi Menlu RI, KBRI Washington DC telah mempersiapkan kunjungan Presiden RI ke Amerika Serikat baik menyusun program maupun memastikan hasil yang konkrit dari kunjungan.

Untuk menciptakan momentum Presiden RI itu, lanjut Budi, KBRI memfasilitasi berbagai kunjungan Pejabat Indonesia ke Amerika Serikat maupun Pejabat AS ke Indonesia termasuk kunjungan 7 anggota Kongres AS dan 4 Senator Senior AS. "KBRI memfasilitasi tidak kurang dari 6 kunjungan bisnis dari berbagai perusahaan besar di Amerika Serikat ke Indonesia," kata Budi.

Budi menyebutkan, dirinya telah bertemu setidaknya dengan hampir 100 anggota Kongres dan Senator AS untuk menjelaskan arti penting kunjungan dan meminta dukungan suksesnya kunjungan Presiden RI. Budi juga mengaku, untuk memastikan hasil konkret kunjungan Presiden RI, KBRI sejak awal telah membahas berbagai hasil kunjungan yang bersifat strategis dengan pihak Amerika. "Kesepakatan di bidang pertahanan, maritim dan energi merupakan hasil konkrit yang bersifat strategis," kata Budi.

Dia menegaskan, kesepakatan bisnis yang nilainya lebih dari US$20 miliar bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil dari upaya yang telah dirintis dan diupayakan KBRI Washington sejak Nopember 2014. Budi mengatakan, berbagai upaya dilakukan KBRI dan berbagai pihak di tanah air agar kesepakatan bisnis dan komitmen ekspansi investasi dapat disampaikan Perusahaan AS.

KBRI, kata Budi, dengan terukur dan terencana terus memastikan adanya penyelesaian bagi hambatan investasi atau bisnis yang sudah terbengkalai cukup lama. Juga penyelesaian berbagai kendala dan masalah hukum yang ada sehingga menghalangi investasi yang akan dilakukan dan memfasilitasi komunikasi dengan berbagai pihak di Indonesia sehingga memberikan keyakinan bagi calon investor untuk memutuskan komitmen Investasi dan bisnis sebesar lebih dari US$20 miliar saat kunjungan Presiden RI.

Terkait kunjungan Jokowi, Duta Besar Budi Bowoleksono juga menegaskan selalu melakukan konsultasi dengan Menteri Luar Negeri dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan yang kemudian menjadi Menko Polhukam agar kunjungan Presiden RI dapat menghasilkan hal-hal konkret baik yang bersifat strategis maupun komitmen bisnis sesuai kepentingan nasional Indonesia.

"Kunjungan Kepala Staf Kepresidenan pada bulan Maret 2015, merupakan bagian dari berbagai kunjungan Pejabat Indonesia ke AS untuk menciptakan momentum menuju kunjungan Presiden," terang Budi.

Terkait dengan pemberitaan penggunaan Lobbyist di Amerika Serikat, meskipun lobbyist merupakan bagian dari kehidupan politik di Amerika Serikat, Budi Bowoleksono menegaskan, Pemerintah RI sejak dilantik pada Oktober 2014 tidak pernah menggunakan lobbyist di Amerika Serikat.

BACA JUGA: