Mempertanyakan Etika Menteri Jokowi
Sudut Pandang Redaksi
Memiliki suatu jabatan menjadi idaman bagi sebagian orang hingga mereka akan mempertahankannya mati-matian. Apalagi jabatannya mentereng: menjadi menteri, pembantu orang nomor satu di negeri ini. Maka tak perlu heran bila mendengar niat dari Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani yang mengaku mempertimbangkan untuk maju sebagai calon legislatif dari dapil Jawa Tengah pada Pileg 2019.
Apalagi Presiden Joko Widodo juga telah memberi kelonggaran kepada anggota kabinetnya. Bukannya memerintahkan mundur, Jokowi hanya meminta para menteri mengambil cuti jika hendak berkompetisi menjadi anggota lembaga legislatif. Memang posisi menteri merupakan hak prerogatif presiden. Selain itu, tidak ada aturan yang mengharuskan seorang menteri mundur jika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjelaskan tentang syarat pencalonan caleg DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Salah satu syaratnya terdapat pada huruf k, yakni harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, pengunduran diri itu hanya berlaku bagi kepala daerah aktif, wakil kepala daerah aktif, ASN, TNI, Polri, karyawan/pejabat BUMN dan karyawan/pejabat BUMS. Adapun, menteri tidak disebut sebagai salah satu pihak yang harus mengundurkan diri.
Namun menilik aturan di atas, rasanya kurang etis bila para pejabat lainnya harus mengundurkan diri sementara para menteri hanya mengambil cuti semata. Situasi ini lebih mencemaskan lagi karena diantara 34 kementerian, 16 menteri berasal dari partai. Bisa dibayangkan bagaimana kinerja kabinet bila mereka semua yang berasal dari partai mengajukan cuti.
Publik pun yang mengalami kerugian oleh banyaknya menteri yang meninggalkan pekerjaan untuk berkampanye selama hampir tujuh bulan, sejak September tahun ini hingga April tahun depan. Belum lagi adanya potensi pelanggaran etik oleh menteri ketika berkompetisi menjadi calon legislator. Mereka berpeluang besar memanfaatkan jabatan, misalnya menggunakan fasilitas negara untuk merebut simpati para pemilih.
Potensi teresebut semakin nyata bila melihat kiprah para menteri yang menjadi calon legislator di masa lalu. Indikasi penggunaan fasilitas negara untuk berkampanye sangatlah besar. Ambil satu contoh, mereka pergi ke daerah pemilihan menggunakan fasilitas menteri. Pada malam harinya, dilanjutkan Sabtu dan Minggu, mereka menggunakan kesempatan untuk berkampanye.
Hal seperti itu berupaya mengakali keuangan negara untuk kepentingan pribadi para menteri. Itulah sebabnya, menteri yang menjadi calon legislator seharusnya tak sekadar cuti, tapi mesti mundur dari jabatannya.
- Presiden Jokowi Dinilai Pro Energi Kotor, Abaikan Pembangunan Berkelanjutan
- Kinerja DPR 2020 Buruk, Kental Muatan Politis
- Kinerja DPR Buruk dari Minta CSR BUMN hingga Abaikan RUU PKS
- Rachmawati Soekarnoputri Nilai Indonesia Terjebak Kepentingan Negara Luar
- Fadli Zon: DPR Tak Lagi Kritis
- DPR Dipuji, DPR Dikritisi
- Koalisi Gemuk, DPR Jadi Tukang Stempel?