JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo-Ma`ruf Amin dinilai belum menunjukkan transformasi nyata untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Di sektor energi, pemerintah masih memprioritaskan energi kotor dari batu bara, padahal sektor energi merupakan sumber emisi terbesar sehingga transisi energi menjadi kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Selain itu komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 belum terlihat nyata.

Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menyatakan masih terdapat gap yang besar antara strategi besar pembangunan dan turunan kebijakan/implementasinya.

"Yang diperlukan kini adalah aksi nyata dan segera," kata Tata dalam diskusi daring bertajuk Evaluasi Setahun Jokowi Bidang Ekonomi dan Lingkungan: Transformasi atau Kemunduran? yang diadakan oleh INDEF dan Greenpeace Indonesia, Jumat (13/11/2020).

Merujuk pada Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020-2024, produksi batu bara akan terus meningkat. Pada 2019, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2%.

Dalam diskusi tersebut, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Andrinof Chaniago mengungkapkan saat ia menjabat menteri, ia berupaya menurunkan produksi batu bara Indonesia, seperti termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Produksi batu bara ditargetkan turun dari 550 juta ton menjadi 400 juta ton. Tapi apa yang terjadi? Produksi tetap naik.

"Bahkan kawan menteri (Menteri ESDM) itu kirim surat ke Menteri Bappenas yang saat itu bukan saya lagi, untuk diubah RPJMN tentang kuota," kata Andrinof.

Andrinof pun dalam diskusi internal meyakinkan penggantinya yakni Bambang Brodjonegoro yang akhirnya mengikuti permintaan Andrinof dengan menolak surat tersebut. Akan tetapi kenyataannya berbalik. "Dibuat Permen (Peraturan Menteri) oleh kawan kita itu yang kemarin dapat Bintang Mahaputra," katanya.

Menurut dia, lobi pengusaha batu bara dan sawit sangat kuat. Misalnya di Omnibus Law UU Cipta Kerja meminta royalti hingga 0%. Itu jelas melanggar konstitusi. "Betul-betul ada kekuatan di belakang itu yang kuat. Ada permasalahan struktural ini," ungkapnya.

Sementara itu Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menuturkan, rendahnya alokasi APBN untuk aktivitas pembangunan rendah karbon (LCD) selama 2018-2020 baik secara nominal (Rp34,5 triliun, Rp23,8 triliun dan Rp23,4 triliun) dan proporsi ke APBN (1,6%, 1,4% dan 0,9%) adalah indikasi kuat bahwa semangat transformasi hijau belum jadi bagian penting untuk merespons pandemi dan membangun kembali ekonomi dengan lebih baik seperti dilakukan banyak negara lain.

Menurutnya pengkajian lebih lanjut menunjukkan sekitar 60% dari dana LCD dialokasikan untuk transportasi yang didominasi oleh subsidi tarif transportasi publik.

Ia menjelaskan transformasi sektor energi yang vital untuk mencapai target 23% energi baru terbarukan (EBT) di bauran energi mendapat porsi lebih kecil dan masih belum didukung feed-in-tariff yang sesuai dengan karakteristik EBT.

Tata menambahkan energi terbarukan seharusnya menjadi prioritas. Tipe energi ini terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai selain tidak menghasilkan polusi dan gangguan pernapasan. Apalagi biaya tenaga surya dan angin terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi sehingga meningkatkan efisiensi.

Oleh sebab itu, pemerintah dinilai perlu merevisi rencana umum energi nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius. Thailand, Filipina dan Vietnam telah menunjukkan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang EBT 5-20x dalam 5 tahun bisa dilakukan.

Menurut Tata, ekonomi tidak bisa berjalan tanpa daya dukung alam. Manusia, profit, planet dinilai harus berjalan bersama. Mengacu pada hal itu, pengembangan bisnis pariwisata yang merusak ekosistem seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur perlu mendapatkan perhatian serius.

Pariwisata juga dianggap harus bersandar pada nilai lokal dengan mengacu pada sosial budaya setempat, sehingga akan menghasilkan nilai ekonomi yang berkelanjutan.

"Jangan hanya bersandar pada kepentingan pemilik modal, dengan paradigma untung sesaat dan sebesar-besarnya yang berakhir pada kegiatan eksploitatif. Model pembangunan seperti ini akan gagal karena orientasi keuntungan terlepas dari kesejahteraan bersama dan kelestarian lingkungan," ungkap Tata. (G-2)

 

BACA JUGA: