JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keterlibatan Komisi Yudisial (KY) turut serta bersama Mahkamah Agung (MA) dalam menyeleksi pengangkatan hakim untuk pengadilan umum, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara dianggap bisa menciptakan pola rekrutmen yang fair, akuntabel, lebih objektif dan tidak memihak. Keikutsertaan KY juga dinilai sebagai bentuk pengawasan eksternal yang membuat perimbangan atau check and balance dalam pengambilan keputusan. Sehingga keterlibatan KY sama sekali tidak akan mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan hakim.  

Pandangan ini disampaikan Ketua KY Suparman Marzuki dalam uji materi atas Pasal 14 A ayat (2) UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang peradilan umum, Pasal 13A ayat (2) UU Nomor 50 tahun 2009 tentang peradilan agama, dan UU nomor 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara. Pemohon terdiri dari pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) diantaranya Imam Soebechi, Suhadi, Abdul Manan, Yulius, Burhan Dahlan, dan Soeroso Ono menggugat sejumlah pasal dalam sejumlah undang-undang. Mereka menilai Mahkamah Agung (MA) yang paling berwenang dalam merekrut hakim sebagai lembaga yang merdeka dan lembaga tertinggi dalam yudikatif. Sehingga KY tidak memiliki kewenangan tersebut.

Dalam agenda pemberian keterangan pihak terkait, Ketua KY Suparman Marzuki mengatakan pasal-pasal yang diujikan dianggap pemohon sebagai perluasan terhadap kewenangan KY. Menurutnya perluasan kewenangan tersebut tidak otomatis inkonstitusional lantaran belum diatur dalam UUD 1945.

"Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara sangat banyak UU yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden sebagai pembentuk UU yang tidak ada perintah langsung dalam UUD 1945," ujar Suparman dalam keterangannya atas sidang uji materi UU Peradilan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/5).

Ia melanjutkan dalam UUD 1945 tidak ada satu pun pasal yang melarang KY terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim. Sehingga pemberian kewenangan pada KY dan MA secara bersama untuk mengangkat hakim tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Lalu soal dalil pemohon yang menilai pasal yang digugatnya dapat mempengaruhi, mengganggu, menghambat, membelenggu, merusak kemandirian, dan kemerdekaan hakim dianggap tidak tepat. Sebab kemandirian dari kedua lembaga tersebut tidak berarti tidak diperlukan koordinasi dan kerjasama antara KY dan MA. Sehingga hubungan antara KY dan MA sebenarnya bersifat mandiri tapi saling terkait. Ia pun merujuk pada blueprint MA 2010-2035 yang menyebutkan MA akan mulai memperbaiki komunikasi dengan KY untuk mempersiapkan tim bersama dalam rekrutmen hakim.

Dalil pemohon dianggap Suparman hanya sebagai asumsi dan kekhawatiran yang tidak memiliki dasar konstitusionalitas. Lagipula keterlibatan KY hanya sebatas dalam proses seleksi pengangkatan hakim agar transparan, akuntabel, dan partisipatif. Sehingga tidak ada hubungannya untuk mempengaruhi kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Selanjutnya, argumen pemohon yang menilai kewenangan MA dan KY dalam pengangkatan hakim mengandung kepastian hukum juga dibantah. Sebab ketidakpastian hukum biasanya berkaitan dengan adanya dua prinsip norma hukum yang saling tumpang tindih sehingga disharmonis. Sementara ia menilai tidak ada UU lain yang mengatur bahwa kewenangan pengangkatan hakim hanya diserahkan pada MA saja.

Norma-norma hukum yang digugat justru memberikan kepastian hukum soal lembaga mana saja yang berwenang terlibat dalam proses seleksi pengangkatan hakim. Permohonan pembatalan pasal-pasal yang digugat nantinya malah akan memberikan ketidakpastian dan kekosongan hukum. Sebab tidak ada lagi aturan yang menyebutkan lembaga mana yang berwenang melakukan seleksi pengangkatan hakim. Sehingga terhambatnya proses seleksi pengangkatan hakim yang terjadi selama ini terjadi bukan karena pasal-pasal yang digugat. Karena itu, ia meminta agar majelis hakim menolak seluruhnya permohonan pemohon.

Terkait hal ini, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Erma Suryani Ranik mengatakan adanya kewenangan KY ikut bersama MA menyeleksi hakim tidak mengurangi hak konstitusional pemohon. Hak konstitusional pemohon justru dilindungi dengan adanya pertimbangan KY sebagai wujud perimbangan (check and balance) dalam pengambilan keputusan.

"Peran serta KY sebagai pihak eksternal dalam proses seleksi pengangkatan hakim justru akan menciptakan pola rekrutmen yang fair, akuntabel, lebih objektif, dan tidak memihak," ujar Erma pada kesempatan yang sama.

Menurutnya, kemandirian peradilan akan lebih optimal tercapai karena adanya pengawasan eksternal oleh KY selain pengawasan internal. Ia melanjutkan atas dalil pemohon yang menyebutkan MA memiliki kuasa penuh atas organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawahnya memang diatur secara khusus melalui undang-undang sesuai peradilan masing-masing. Tapi norma tersebut tidak menyebutkan proses pengangkatan hakim secara independen dan mandiri hanya dilakukan oleh MA.

DPR juga beranggapan adanya ketentuan Pasal 24B ayat (1) yang menyebutkan KY berwenang mengusulkan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim tidak hanya terbatas pada hakim agung saja. Frasa ´mempunyai wewenang lain´ dapat dimaknai KY memiliki wewenang lain yaitu ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada peradilan umum, agama, dan tata usaha negara. Lalu soal permasalahan tidak adanya seleksi pengangkatan hakim sejak 2010 hingga kini dianggap bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma. Sehingga ia meminta agar permohonan tersebut tidak diterima.

BACA JUGA: