JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberian atau penolakan grasi dari presiden dinilai harus disertai dengan alasan yang layak. Sebab grasi khususnya eksekusi mati berhubungan langsung dengan hak asasi manusia. Sehingga dalam memberikan putusan grasi presiden harus mempertimbangkan dengan teliti berdasarkan kasus orang per orang.

Pandangan ini disampaikan dalam uji materi atas Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi). Pasal tersebut berisi ketentuan pemberian putusan atas permohonan grasi dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Adapun putusannya berupa pemberian atau penolakan grasi. Lalu mereka juga menggugat Pasal 51 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK). Pasal ini menyebutkan warga negara asing tidak diperbolehkan mengajukan uji materi undang-undang yang ada di Indonesia terhadap UUD 1945.

Dalam sidang pendahuluan, Pemohon Anbar Jayadi mengatakan, permohonannya dimaksudkan untuk menghilangkan pembedaan perlakuan atas perlindungan hukum warga negara asing dan warga negara Indonesia (WNI) dalam Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK. Menurutnya pasal tersebut melanggar Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan soal kewajiban pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia (HAM).

"Dalam pengujian UU Grasi, pemohon adalah WNI yang peduli pada isu HAM dalam UU Grasi tidak ada kewajiban secara eksplisit bagi presiden untuk mempertimbangkan tiap permohonan grasi yang diajukan untuk mengacu pada aspek masing-masing pemohon," ujar Anbar dalam sidang perdana uji materi UU Grasi dan UU MK di gedung MK, Jakarta, Rabu (20/5).

Ia melanjutkan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK menurutnya tidak sesuai dengan konsep kepastian hukum yang adil. Sebab warga negara asing diwajibkan patuh pada ketentuang UU Indonesia. Seharusnya demi keadilan selayaknya yang bersangkutan memiliki hak untuk mempertanyakan keabsahan dari UU yang wajib dipatuhinya.

Menurutnya tidak adil ketika warga negara asing memiliki hak konstitusionalitas terbatas karena tidak diberi kualifikasi mengujikan UU masih harus diberi kewajiban. Anbar menjelaskan pasal yang digugatnya dalam UU MK juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Sebab pasal tersebut membedakan perlindungan yang dimiliki satu orang dengan orang lainnya karena alasan kewarganegaraan.

Lalu pada UU Grasi, Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) UU tersebut menurutnya mengakibatkan presiden melanggar kewajibannya untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Dalam UUD 1945 presiden harus menjalankan pemerintahan dengan memperhatiakn aspek HAM.

Dalam konteks hukuman mati, seharusnya presiden tidak menyamaratakan permohonan grasi tanpa melihat aspek-aspek individualitas dari masing-masing pemohon. Apalagi presiden juga tidak memberikan alasan yang layak pula. Pasal dalam UU grasi tersebut menurutnya seolah menghilangkan kewajiban presiden untuk mempertimbangkan dan memberi pertimbangan yang layak terhadap permohonan grasi.

Menurutnya diperlukan pemaknaan ulang pada pasal tersebut dengan menambahkan kewajiban presiden untuk memberikan pertimbangan yang layak pada tiap putusan grasi. Sehingga presiden harus melakukan penelitian terhadap permohonan grasi. Sebab tanpa pertimbangan yang layak pengajuan grasi hanya menjadi pengajuan formal.

Lalu pasal ini juga dianggap melanggar hak atas informasi yang dimiliki masyarakat dan pemohon grasi. Sebab dalam Pasal 28F UUD 1945, tiap orang berhak mengetahui alasan dari tiap pemberian dan penolakan grasi.

Tanpa adanya informasi soal alasan penerimaan atau penolakan akan muncul dan memicu terjadinya keresahan di masyarakat khususnya bagi pemohon grasi. Tanpa adanya alasan terhadap penolakan atau pemberian grasi juga akan memunculkan celah untuk melakukan diskriminasi secara terselubung.

Atas argumen di atas, dalam petitum, Anbar meminta, agar presiden dalam memberikan putusan grasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya. Lalu presiden juga harus memberikan alasan yang layak atas pemberian atau penolakan grasinya.

Lalu atas UU MK, ia meminta pasal yang digugatnya dimaknai pemohon adalah WNI dan warga negara asing sepanjang yang didalilkannya menyangkut HAM.

Menanggapi hal ini, Hakim anggota Maria Farida Indrati mengatakan kerugian atas UU yang digugat harus bersifat spesifik dan aktual atau potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi. Untuk Pasal 51 UU MK, pemohon tidak memiliki legal standing karena bukan warga negara asing.

"Sedangkan kalau Anda di sini, Anda orang bebas, merdeka, dan tidak akan mengajukan grasi, kan? Kalau legal standing tidak ada, perkara ini tidak bisa dilanjutkan," ujar Maria pada kesempatan yang sama.

Pada kesempatan berikut, Hakim anggota Patrialis Akbar mengatakan, pemohon mempersoalkan diskriminasi antara WNI dengan warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Menurutnya UUD 1945 merupakan kepentingan orang Indonesia.
Sehingga kepentingan orang asing sama sekali ditutup. Tapi ketika bicara masalah HAM, maka akan mengacu ke tiap orang.

"Pasal 28 itu memang bicara semua orang. Karena penduduk Indonesia ada WNI dan asing. Karena itu orang asing yang hanya jalan-jalan ke Indonesia harus taat dengan konstitusi. Begitu juga ketika kita ke negara orang harus tunduk dengan aturan mereka. Apakah itu diskriminasi? Nanti coba saudara yakinkan mahkamah bahwa itu adalah diskriminasi," ujar Patrialis.

Untuk diketahui, sejumlah pemohon atas uji materi UU ini diantaranya dua terpidana mati kasus narkoba Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Duo Bali Nine), dan perorangan Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra, Haris Azhar, serta lembaga Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial). Hanya saja karena Duo Bali Nine sudah dieksekusi mati, permohonannya otomatis gugur. Namun pemohon lain dapat tetap melanjutkan permohonan uji materinya.

BACA JUGA: