JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah lewat Jaksa Agung masih berencana akan mengeksekusi mati terpidana mati kasus narkoba yang telah divonis oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam laporan kinerja 2016 dinyatakan, MA telah menjatuhkan hukuman mati terhadap 25 terpidana dan hukuman seumur hidup terhadap 45 terpidana. Presiden Joko Widodo sebelumnya juga telah menegaskan, eksekusi mati perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum.

Hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati. Oleh karena itu, selama sudah diputus pengadilan dan grasi telah ditolak, eksekusi dapat dijalankan. Sebelumnya, pada tahun 2016, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi empat orang dari 14 terpidana mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat tanggal 29 Juni 2016 dini hari pukul 00.45 WIB. Keempat terpidana yang dieksekusi itu terdiri dari seorang warga negara Indonesia dan tiga warga negara asing.

Mereka adalah Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), Seck Osmane (Senegal), Freddy Budiman (Indonesia) dan Michael Titus Igweh (Nigeria) Sedangkan 10 terpidana mati yang eksekusinya ditunda terdiri atas Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria), Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia), dan Agus Hadi (Indonesia).

Terkait masalah ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan pemerintah, hak-hak terpidana mati tidak boleh dikesampingkan. "Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, maka terpidana mati bisa kapan saja mengajukan grasi tanpa batasan waktu," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam peryataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (26/2).

Sebelumnya, grasi hanya bisa diajukan sekali dan batas waktunya setahun setelah perkara dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Setelah adanya putusan MK, pengajuan grasi dibatasi satu tahun setelah keputusan tetap. Namun setelah ada putusan MK terakhir, maka pelaksanaan eksekusi mati haruslah memenuhi persyaratan dan hak-hak terpidana seperti mengajukan grasi dan upaya hukum lainnya.

Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 jelas menyatakan bahwa Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "MK memutuskan bahwa permohonan grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak dibatasi waktu pengajuannya karena menghilangkan hak konstitusional terpidana. Putusan MK ini menganulir adanya jangka waktu (pembatasan) pengajuan grasi oleh terpidana," terang Supriyadi.

Menurut ICJR, jika pun Kejaksaan Agung akan meminta fatwa ke Mahkamah Agung, fatwa Mahkamah Agung tidak bisa dijadikan patokan untuk meminta eksekusi mati. "Pernyataan Jaksa Agung secara sepihak yang menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut, adalah tidak tepat," ujarnya.

Menurut ICJR Undang-Undang Grasi keliru mengatur soal pengajuan pembatasan grasi. Dalam peraturan sebelumnya, dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 (UU Grasi sebelum perubahan), permohonan grasi tidak dibatasi tenggat waktu. Lalu kemudian berdasarkan UU No. 5 Tahun 2010 (UU Grasi Perubahan) pasal ini kemudian direvisi dengan memasukkan tenggat waktu.

Pembatasan dalam UU No. 5 Tahun 2010, inilah yang kemudian dianulir oleh MK. Dengan adanya Putusan MK tersebut justru tidak ada lagi tenggat waktu yang mengikat, sehingga berlaku ketentuan bahwa aturan yang paling menguntungkan terpidana mati yang digunakan sebagaimana asas dasar perundang-undangan dalam ranah pidana

"Meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan sikap kejaksaan Agung yang berada dalam situasi bingung atau ragu-ragu namun di satu sisi masih memaksa keinginan untuk melakukan eksekusi mati," kata Supriyadi.

ICJR merekomendasikan jika dalam konsisi ragu, maka eksekusi mati sebaiknya di moratorium. Hal ini senada dengan rancangan KUHP yang akan selesai dalam tahun ini, yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat diganti dengan jenis hukuman berat lainnya, seperti hukuman seumur hidup. Lagi pula bentuk Fatwa MA berupa pendapat hukum MA yang tidak mengikat.

"Fatwa MA bukanlah suatu keputusan maupun peraturan. Fatwa MA hanya berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Fatwa MA bukan juga putusan pengadilan, sebab itu kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata," tegas Supriyadi.

ICJR mengingatkan, salah satu aspek yang dilupakan oleh Kejaksaan Agung terkait putusan MK yang memberikan pertimbangan yakni: "Seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan mengajukan permohonan grasi".

"Pertimbangan MK ini jelas tidak mempersoalkan mengenai jangka waktu pengajuan," terang Supriyadi. Disamping itu tuduhan dari Jaksa Agung bahwa para terpidana sengaja mengulur-ulur waktu dalam mengajukan upaya hukum setelah pengadilan menjatuhkan vonis harus dikritik. Menurut ICJR grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana mati kepada Presiden untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden supaya terhindar dari pelaksanaan hukuman mati.

Dengan kata lain grasi adalah upaya pagi terpidana mati untuk mempertahankan hidupnya. Intinya fungsi pemberian grasi juga dipandang sebagai instrumen untuk meniadakan hukuman pidana mati di Indonesia. "Jika terpidana yang dijatuhi hukuman mati telah melakukan upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, namun mengalami kebuntuan, maka upaya grasi merupakan upaya hukum istimewa dan menjadi jalan terakhir untuk meminta pengampunan yang dapat mengubah putusan mati tersebut," pungkasnya.

TAK ADA HAMBATAN - Berbeda dengan sikap ICJR, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung Agustinus Pohan berpendapat tidak ada yang bisa menghambat eksekusi hukuman. "Saya kira putusan yang sudah inkracht bisa untuk dilaksanakan. Karena tidak ada upaya hukum apa pun yang bisa menghalang-halangi eksekusi," ujar Agustinus, Kamis (23/2) lalu.

Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 terkait dengan permohonan grasi tidak akan menunda pelaksanaan eksekusi mati. Bahkan hal itu bukan sebuah hambatan bagi kejaksaan dalam pelaksanaan eksekusi. "Menurut saya tidak berpengaruh dan tidak menghambat pelaksanaan eksekusi, jadi ya laksanakan saja. Kalaupun mereka mengajukan grasi, itu tergantung pada Presiden, apa akan memberikan grasi atau tidak," jelasnya.

"Nggak usah nunggu-nunggu, laksanakan saja dulu. Karena memang seakan-akan ini menjadi hambatan, biasanya setelah Kejagung mempersiapkan eksekusi, mereka (terpidana) mengajukan grasi," sambungnya.

Sebelumnya Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, belum dapat memastikan kapan eksekusi mati jilid IV dapat dilaksanakan. Menurutnya, para terpidana mati terus berusaha mengulur waktu dengan mengajukan permohonan grasi.

"Terus terang, mereka sekarang terus berusaha mengulur waktu dengan menggunakan regulasi baru dari ketentuan MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa grasi tak lagi ada batas waktunya," ujar Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (22/2) kemarin.

Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap 25 terpidana kasus narkoba pada 2016. Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, jika sudah ada vonis, eksekusi harus segera dilaksanakan.

"Hukuman mati itu masih masuk hukum positif di Indonesia. Jadi mau nggak mau harus segera dilaksanakan. Apalagi putusan hukumnya sudah in kracht dan tidak ada lagi upaya hukumnya, seperti PK dan lainnya," ujar Fickar.

Menurutnya, Kejaksaan Agung adalah otoritas untuk melaksanakan eksekusi, tanpa harus menunggu pertimbangan dari presiden. "Sekarang tergantung pada Kejaksaan Agung sebagai pelaksana, eksekutornya. Karena hal ini adalah wewenang jaksa, selain menuntut tapi juga melaksanakan putusan. Tapi kembali lagi semua tergantung pada presidennya juga," ujar Fickar. (dtc)

BACA JUGA: