JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penggunaan hak cipta milik perorangan oleh pemerintah tanpa izin pemegang hak dengan memberikan imbalan dinilai tidak adil. Sebab hak cipta yang dimiliki seseorang dianggap telah melekat pada pemegang hak ciptanya. Lalu imbalan yang diberikan negara juga seakan membiarkan negara bersikap melanggar aturan karena bisa menggunakan karya ciptaan tanpa izin pemegang hak cipta.

Masalah hak cipta ini diajukan uji materi oleh Bernard Samuel Sumarauw ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bernard menggugat Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pasal tersebu berisi ketentuan pemerintah dapat menyelenggarakan pengumuman, pendistribusian atau komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi dan atau sarana lain untuk kepentingan nasional tanpa izin dari pemegang hak cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan pada pemegang hak cipta.

Ia menggugat UU tersebut karena ciptaannya berupa program jaminan sosial yang telah didaftarkan pada Direktorat Hak Cipta tahun 1990 berbenturan dengan program pemerintah terkait hal yang sama. Jika ia mengajukan gugatan atas hak ciptanya ke pengadilan maka ia akan terbentur dengan Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta.

"Ketika sudah didaftarkan hak cipta saya, saya ingin melaksanakannya dan menawarkan pada departemen di pemerintahan. Tapi pada 1992 diterbitkan UU jaminan sosial ketenagakerjaan (UU Jamsostek) yang programnya sama dengan program saya. Sehingga saya tidak bisa melaksanakan program saya karena berbenturan dengan UU Jamsostek," ujar Bernard dalam sidang pendahuluan uji materi UU Hak Cipta yang dipimpin Hakim ketua Aswanto di gedung MK, Jakarta, Selasa (5/5).

Bernard berpandangan frasa ´pemerintah menyelenggarakan atas suatu ciptaan untuk kepentingan nasional´ dalam Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta dianggap merugikannya. Pengertian ´untuk kepentingan nasional´ menurutnya tidak adil dan kurang jelas sehingga mengakibatkan multitafsir. Frasa itu juga dinilai memberikan kesan negara diperbolehkan melakukan kegiatan ilegal. Sebab ciptaan seseorang dalam hal ini pemohon melekat pada diri pencipta dan tidak dapat dihilangkan dan tidak boleh ada yang memanfaatkan tanpa ijin pemegang haknya.

Lalu frasa ´dengan ketentuan wajib memberikan imbalan pada pemegang hak cipta´ menurutnya tidak adil. Sebab imbalan yang tersebut dinilai sebagai bukti arogansi kekuasaan pemerintah yang dengan mudahnya melanggar ketentuan hukum yang berlaku yaitu hak ekslusif, hak moral, dan hak ekonomi. Menurutnya imbalan juga bisa dikonotasikan sebagai suap atau gratifikasi yang merupakan delik pidana.

Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta juga dinilai bertentangan dengan pasal-pasal lain dalam UU itu sendiri. Misalnya bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta yang berisi ketentuan setiap orang yang tanpa izin pencipta dilarang melakukan penggandaan dan atau penggunaan secara komersial ciptaan.

Selanjutnya, ia menilai pasal yang digugatnya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan karya cipta pemohon harus diletakkan pada proporsi yang telah memiliki legalitas hukum yang valid bagi kesejahteraan umum dan kepentingan rakyat. Lalu pasal yang digugat juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa karya cipta pemohon tidak seharusnya dikorbankan dan dilecehkan karena tidak memiliki otoritas hukum yang mengikat sesuai undang-undang.

Dalam sidang pendahuluan itu, Hakim anggota Suhartoyo memberikan masukan. Menurut Suhartoyo pemohon perlu menjelaskan dalam permohonannya bahwa pemerintah berlindung atas nama kepentingan nasional atau umum. Padahal pemohon yang lebih dulu mendaftarkan hak cipta tapi malah pemerintah yang ´main rampas´ programnya. Seharusnya sebagai pemegang hak cipta tetap harus diberi royalti meskipun negara yang membutuhkan.

"Coba bapak telisik soal bagaimana kepentingan umum diutamakan sehingga bisa mengalahkan hak cipta yang bersifat privat," ujar Suhartoyo pada kesempatan yang sama.

BACA JUGA: