JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembatasan peninjauan kembali (PK) hanya boleh diajukan satu kali oleh Mahkamah Agung (MA) dianggap bertentangan dengan peraturan yang posisinya lebih tinggi. Antara lain bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (PK) yang membolehkan PK diajukan lebih dari satu kali sepanjang ada keadaan atau bukti baru (novum).

Pembatasan itu juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Atas dasar itu, aturan yang membatasi PK dinilai harus dicabut dan dibatalkan. Seperti diketahui, MA telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali yang dibatasi hanya satu kali.

Polemik mengenai pembatasan PK ini kemudian berbuntut pada gugatan maupun judicial review atas SEMA tersebut. Jika sebelumnya SEMA 7/2014 digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kini SEMA tersebut juga diujimaterikan oleh pemohon dari Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati ke Mahkamah Agung (MA). Koalisi tersebut terdiri dari ICJR, Imparsial, Elsam, HRWG, Setara Institute, LBH Masyarakat, dan Ikohi.

Terkait hal ini, kuasa hukum Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati Robert Sidauruk mengatakan sudah mengajukan judicial review terkait SEMA 7/2014 soal pembatasan PK di perkara pidana. Uji materi diajukan lantaran koalisi melihat banyak masalah yang lahir dengan terbitnya SEMA tersebut.

"Padahal PK sebenarnya merupakan upaya untuk mencari keadilan dan menjadi jalan keluar dari praktik peradilan sesat," ujar Robert usai mendaftarkan uji materi SEMA 7/2014 di MA, Jakarta, Jumat (17/4).

Ia melanjutkan, dalam hukum pidana seharusnya tidak ada batasan kapan suatu novum dapat ditemukan. Sebab novum bisa saja ditemukan saat PK sudah ditolak. "Akibatnya jika PK hanya sekali maka terpidana tidak bisa mendapatkan keadilan. Hal ini yang perlu diantisipasi," kata Robert.

Dalam petitumnya, koalisi ini meminta agar MA mencabut dan membatalkan SEMA 7/2014. Ia mendalilkan, pencabutan tersebut harus dilakukan karena bertentangan dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bertentangan dengan putusan MK, dan bertentangan dengan UU Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurutnya, SEMA tersebut bisa dikatakan bertentangan dengan UU pembentukan peraturan perundang-undangan lantaran SEMA bersifat internal dan berupa petunjuk dari atasan ke bawahan. "Tapi dalam SEMA ini mengatur pembatasan PK seolah seperti UU karena ada pembatasan hak individu di dalamnya," urai Robert.

Lalu dalam UU peraturan perundang-undangan juga terdapat poin soal kejelasan tujuan. Ia berpendapat tidak melihat kejelasan dari SEMA tersebut. SEMA tersebut menyebutkan tujuan pembatasan adalah untuk kepastian hukum. Tetapi ia justru mempertanyakan kepastian hukum yang dimaksudkan MA.

"Sebab secara administrasi PK memang bisa memberikan kepastian hukum. Tapi kepastian hukum tidak bisa dicapai ketika menyangkut kebenaran materil," jelas Robert.

Selanjutnya, SEMA 7/2014 juga dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pembatasan PK hanya sekali. Tapi putusan ini direspons oleh MA dengan membatasi PK hanya sekali. Sehingga sebenarnya MA melihat PK sebagai pembatasan prosedural saja. Padahal menurutnya, MA melakukan pembangkangan terhadap putusan MK.

Adapun soal SEMA dianggap bertentangan dengan UU HAM karena dalam UU tersebut diatur bahwa setiap orang berhak diadili melalui peradilan yang adil. Sementara SEMA dianggap menghambat kebenaran materiil untuk mencapai peradilan yang adil.

Pada kesempatan terpisah, Juru Bicara MA Suhadi menjelaskan dasar diterbitkannya PK telah mengacu pada UU. Diantaranya UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, dan KUHAP. Sehingga ia menilai penerbitan PK telah tepat.

Apalagi dengan adanya pembatasan PK ia menilai dapat menghentikan ´banjirnya´ pengajuan PK ke MA baik oleh terpidana hukuman mati maupun kasus korupsi.

"Kalau terpidana hukuman mati mengajukan PK berkali-kali, eksekusinya akan tertunda terus dan tidak memberikan kepastian hukum," ujar Suhadi kepada Gresnews.com.

BACA JUGA: