JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kerapuhan sistem peradilan di Indonesia dituding sebagai alasan tidak bisa dilaksanakannya vonis hukuman mati. Faktanya banyak terjadi peradilan sesat yang tidak mengacu pada prinsip fair trial atau peradilan yang adil.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai penerapan hukuman mati cenderung menunjukkan aspek retributive atau balas dendam atas tindakan yang dilakukan terpidana. Padahal dalam paradigma tatanan hukum pidana saat ini tidak lagi menganut aspek retributive tapi restorative justice atau keadilan restoratif.

"Apalagi hukuman mati juga berpotensi besar terjadinya kesalahan dalam penghukuman yang tidak mungkin bisa dikoreksi," ujar Wahyudi dalam diskusi Kerentanan Sistem Peradilan Pidana bagi Terpidana Mati di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (12/4).

Ia mencontohkan peradilan yang sesat masih sangat mudah ditemui di Indonesia. Misalnya dalam kasus Ruben Pata Somba dan Markus Pata Somba yang dijatuhi pidana mati karena dugaan pembunuhan berencana terhadap Andrias Pandin di Tana Toraja. Pada 2006, pelaku pembunuhan yang sebenarnya telah mengakui perbuatannya dan mendapatkan penahanan. Tapi Ruben dan Markus tetap tidak terbebas dari vonis pidana mati.

Tidak hanya di Indonesia, kesalahan dalam penghukuman juga terjadi di banyak negara yang sistem peradilannya lebih maju dari Indonesia, misalnya Amerika Serikat dan Inggris. Praktik peradilan sesat, menurut Wahyudi, bisa disebabkan karena kurangnya kontrol peradilan yang efektif ataupun kurangnya mekanisme banding yang efektif.

Menurutnya, contoh ini membuktikan bahwa sistem peradilan pidana memiliki sifat yang rapuh. Kerapuhan tersebut bisa terjadi karena kekeliruan polisi, jaksa, pengacara, hakim, ataupun saksi. Kekeliruan yang terjadi dalam proses peradilan, menurutnya, tidak menutup kemungkinan juga bisa terjadi dalam jaminan prosedural peradilan yang diklaim telah sesuai prinsip fair trial. Akibat tidak ada sistem peradilan yang sempurna, ia menilai selalu akan terbuka peluang besar adanya risiko orang yang tidak bersalah akan dihukum.

Terkait hal ini, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan potret fair trial bagi terpidana mati masih belum dijalankan di Indonesia. Contohnya dalam kasus terpidana mati pada anak bernama Yusman Telambanua yang diduga melakukan pembunuhan. Dari kasus tersebut bisa dikatakan Indonesia belum menerapkan prinsip fair trial karena terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses peradilannya yang diduga merupakan rekayasa.

"Ada indikasi Yusman disiksa oleh oknum penyidik dan dia tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Karena penasihat hukumnya malah meminta pengadilan menjatuhkan pidana mati padanya," ujar Supriyadi.

Supriyadi menilai contoh ini menjadi tamparan bagi pemerintah karena sebelumnya dalam Sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (4/3), pemerintah mengklaim semua putusan pidana mati telah sesuai dengan prinsip fair trial. Menurutnya, hal ini sebenarnya menjadi tantangan serius bagi pemerintah untuk bisa menerapkan standar penjatuhan pidana mati berdasarkan standar HAM secara internasional.

Ia mengungkapkan berdasarkan penelitian ICJR dari putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung sepanjang 2002 hingga 2013 terdapat asumsi bahwa standar proses peradilan bagi mereka yang diancam hukuman mati memiliki proses yang sama dengan peradilan atas tersangka atau terdakwa kasus lainnya.

Selanjutnya, ia menjelaskan seharusnya proses peradilan bagi terpidana yang mendapatkan ancaman hukuman mati lebih ketat dan tidak dianggap sebagai kasus biasa, sehingga ada sejumlah hal yang harus dipenuhi dalam proses peradilannya. Misalnya bantuan hukum disiapkan sejak dijadikan sebagai tersangka. Bantuan hukum ini yang sering kali tidak didapatkan oleh terpidana hukuman mati. Biasanya bantuan hukum malah diberikan setelah melalui proses peradilan. Kualitas advokat juga harus memiliki kemampuan lebih.

Lalu terkait standar pembuktian, proses penyusunan berita acara pemeriksaan harus direkam dan tidak didasarkan pada tandatangan atau tulisan. Tujuannya untuk menghilangkan praduga adanya penyiksaan. Menurutnya, dua hal tersebut jika dilakukan dengan ketat, fair trial Indonesia akan lebih maju.

Sebelumnya, pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi mati enam terpidana mati kasus narkoba pada Januari 2015. Lalu gelombang kedua eksekusi dijatuhkan pada 10 terpidana mati dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi.

BACA JUGA: