JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpidana mati asal Nigeria, Silvester Obiekwe alias Mustofa membuat pemerintah kian geram. Berulangkali Mustofa masih berbisnis narkoba dari balik jeruji besi.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Tedjo Edhi Purdjianto bersuara lantang agar eksekusi mati tahap dua segera dilaksanakan. Tedjo mengatakan tertangkapnya pengedar narkoba bernama Dewi yang kedapatan membawa sabu 7,6 kilogram akan menjadi tolak ukur jika hukuman mati harus dilakukan.

Itu untuk memberikan efek jera kepada pengedar dan bandar. "Artinya dia tidak jera, jadi hukuman (mati) harus ditegakkan," tegas Tedjo usai mengikuti acara BNN di Lapangan Bhayangkara, Sabtu (31/1).

Tedjo menegaskan sesuai amanat Presiden Joko Widodo, bagi terpidana mati kasus narkoba yang putusan hukuman matinya telah memiliki kekuatan hukum tetap akan ditolak grasinya. Maka, tidak ada kata lain selain tetap melaksanakan eksekusi mati. Bahkan jika mereka tetap mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).

Sejumlah negara masih keberatan atas hukuman mati, Tedjo berharap, mereka memahami sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati masih dianut dalam hukum positif di Indonesia. Harapan tersebut menanggapi keberatan Australia dan Brazil serta Prancis yang meminta mempertimbangkan kembali hukuman mati tersebut.

Sebelumnya Badan Narkotika Nasional (BNN) mendapati seorang narapidana narkoba yang divonis mati asal Nigeria, Silvester Obiekwe alias Mustofa (50) mengendalikan bisnis narkoba dari lembaga pemasyarakatan (lapas) Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah. Mustofa memanfaatkan Andi (32) rekan lapasnya untuk menjadi pengendali kurir di luar penjara.

Menurut keterangan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Anang Iskandar, sebelumnya Mustofa telah tiga kali ketahuan mengendalikan bisnis narkoba dari penjara. "Ini memang cukup spektakuler. Sudah dihukum mati masih mengendalikan bisnis narkoba hingga tiga kali," ujar Anang dalam konferensi pers di Kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Jumat (30/1).

Diketahui, Mustofa beberapa kali mengendalikan bisnis dari dalam Lapas. Berdasarkan keterangan yang dihimpun BNN, kasus pertama pada 2004 Mustofa ditangkap karena membawa 10 kapsul berisi narkoba jenis heroin seberat 1,2 kilogram, akibatnya ia divonis mati oleh hakim. Pada 13 Oktober 2008, Mustofa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) namun ditolak pada 9 Juli 2012.

Kasus kedua, pada 2012 Mustofa menyelundupkan narkoba jenis sabu-sabu dari Papua Nugini ke Indonesia sebanyak 2,4 kilogram. "Berkas perkara untuk kasus pada 2012 ini sudah ada, tetapi tidak disidangkan. Sebab Mustofa sudah divonis mati sejak 2004," ungkap Anang.

Kemudian, kasus ketiga, pada 2014, Mustofa kedapatan mengendalikan enam kilogram sabu-sabu di Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.

Sedangkan kasus yang terakhir pada Januari 2015, Mustofa dan Andi mengendalikan kurir bernama Dewi (36) yang kedapatan menyimpan 7,6 kilogram sabu-sabu di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Anang mengaku akan segera melaporkan ke Kejaksaan Agung terkait tindakan penyelundupan narkoba yang dilakukan berulang kali oleh Mustofa. "Saat ini kami masih menunggu kejaksaan soal hukuman matinya," jelas Anang.

Kejaksaan Agung sendiri tengah menyiapkan proses eksekusi mati untuk tahap dua. Setidaknya  eksekusi mati gelombang kedua dilakukan terhadap 11 terpidana mati. Tujuh diantaranya merupakan warga negara Asing (WNA).

Eksekusi mati gelombang kedua itu berdasarkan Keputusan Presiden yang telah menolak grasi 11 terpidana mati.  Yang terdiri dari 8 kasus narkotika dan 3 kejahatan pembunuhan.

Tony menjelaskan dari delapan kasus narkotika terdiri atas Tujuh terpidana mati berasal dari warga negara Asing dan satu warga negara Indonesia.‎"Ketujuh WNA itu1 dari Brazil, 1 dari Prancis, 1 Pilipina, 1 Ghana, 1 Nigeria, dan 2  Australia‎," jelasnya.



BACA JUGA: