JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kekhawatiran Didi Supriyanto, pemohon pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) terbukti. Permohonannya gugur karena kehilangan objek, seiring disetujuinya Perppu Pilkada dan disahkan menjadi undang-undang oleh DPR.
 
Permohonan Didi dan enam pemohon lain itu, kehilangan objek setelah semua fraksi DPR setuju Perppu yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterima dan disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna hari ini. Padahal pengujian Perppu Pilkada dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah saat itu masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). MK baru menyelesaikan sidang ke IV atau mendengarkan keterangan ahli pemohon.
 
"Semua permohonan itu menjadi gugur karena kehilangan objek," kata pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang, Dr Muhammad Ali Syafaat kepada Gresnews.com, Selasa (20/1).
 
Perppu yang menggantikan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada melalui DPRD, tersebut berisi tentang penghapusan tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan atau Wakil Gubernur.

Sebelumnya sejumlah pihak menolak sejumlah pasal dalam Perppu Pilkada. Sejak 13 Oktober, Mahkamah Konstitusi juga menggelar sidang pendahuluan (I) pengujian Perppu Pilkada yang dimohonkan tujuh pemohon berbeda. Antara lain dimohonkan oleh Victor Santoso Tandiasa, Denny Rudini, Bayu Segara dan Kurniawan dengan perkara nomor: 118/PUU-XII/2014. Mereka meminta pengujian Pasal 1 angka 8, angka 9, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 terhadap UUD 1945.
 
Juga oleh Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto dan Ramdansyah dengan perkara nomor: 119/PUU-XII/2014. Selanjutnya, dimohonkan  Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi. Pemohon lainnya Moch Syaiful dan oleh pemohon  Yanni yang meminta pengujian Pasal 203 ayat (1) Perpu Pilkada. Permohonan juga diajukan oleh Muhammad Sholeh, Imam Syafi’i, Syamsul Arifin dengan nomor perkara 129/PUU-XII/2014. Selain itu ada juga permohonan yang layangkan mantan anggota DPR Didi Supriyadi dan Abdul Khalik Ahmad dengan perkara nomor 127/PUU-XII/2014.
 
Para pemohon menilai pembentukan kedua Perppu Pilkada itu cacat hukum. Sebab, pembentukannya tidak didasari keadaan kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum yang merupakan syarat dikeluarkan sebuah Perppu.
 
Meski meminta pembatalan, mereka mengaku tetap mendukung pilkada secara langsung. Sementara menurut Didi, pembentukan Perppu Pilkada tidak memenuhi syarat proses pembentukan sebuah Perppu. Penerbitan Perppu yang dilatarbelakangi perbedaan sikap politik antara presiden dan DPR ini akan menjadi preseden yang buruk bagi penegakan konstitusi dan berpotensi merusak sistem hukum ketatanegaraan.
 
Karena itu, telah tiga kali ia meminta Majelis Hakim Konstitusi mempercepat proses persidangan permohonan pengujian Perppu Pilkada. "Sesuai yang kami sampaikan melalui tiga surat, kami mohon ada percepatan sidang pembacaan putusan untuk perkara Perppu ini karena DPR segera membahas Perppu Pilkada ini," ujar Didi di sidang lanjutan uji materi Perppu Pilkada, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (8/1) lalu.
 
Menanggapi permintaan itu, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyatakan, MK tidak bisa didesak. "Mahkamah tidak bisa didesak. Kami mohon kesadaran pemohon untuk tidak memaksa mahkamah," ujar Arief di  kesempatan yang sama.

BACA JUGA: