JAKARTA, GRESNEWS.COM - Karyawan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) Bahctiar Abdul Fatah akhirnya dijebloskan ke Lapas Sukamiskin. Eksekusi dilakukan sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA), Oktober 2014  yang menjatuhkan empat tahun penjara  dalam perkara proyek Bioremediasi, Riau.

Kepastian eksekusi disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Teguh. Dia mengatakan, eksekusi dilakukan pada Jumat pekan lalu setelah Kejari Jaksel selaku jaksa eksekutor menerima salinan putusan MA. Dalam perkara korupsi yang merugikan negara sekitar US$9 juta atau sekitar Rp100 miliar itu, Bactiar langsung dibawa ke Sukamiskin guna menjalani pidana selama empat tahun.

"Jadi, kita langsung bawa ke Lapas Sukamiskin untuk dieksekusi, guna menjalani masa pidana selama empat tahun sesuai putusan MA," jelas Teguh, Senin (10/11).

Dengan dieksekusinya Bachtiar, maka dari enam tersangka proyek Bioremediasi senilai US$270 juta, maka sudah tiga terpidana dieksekusi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jabar. Dua terpidana lain, adalah Ricksy Prematuri selaku Dirut PT Green Planet Indonesia, dan Direktur PT Sumigita Jaya Herlan bin Ompo. Tiga terdakwa lain masih berproses di MA, yakni Endah Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari dan Widodo.

Satu tersangka lain, Alexiat Tirtawidjaja masih bersembunyi di AS dengan dalih menemani suaminya, yang dirawat di AS. Padahal, izinnya kepada tim penyidik hanya sampai enam bulan dihitung awal 2012, bersamaan diterbitkannya surat perintah penyidikan perkara tersebut.

"Kita telah ajukan ke Interpol Pusat di Lyon, Perancis untuk memasukan Alexia dalam status Red Notice (buron) melalui Interpol Indonesia. Tim terpadu pemburuan koruptor mendukung langkah itu," kata Pelaksana tugas (Plt) Jaksa Agung Andhi Nirwanto yang juga Ketua Tim Terpadu, secara terpisah.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus R Widyopramono menyatakan tak menutup kemungkinan pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini, terutama terhadap unsur pemerintah. Unsur pemerintah yang dimaksud, adalah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan BP Migas.

Mereka diduga alpa terhadap penelitian unsur Tph (Total Petroleum Hidrokarbon) dan memberikan rekomendasi kepada BP Migas untuk membayar proyek bersifat cost recovery (dikerjakan dahulu, baru dibayar). Padahal, alat untuk meneliti sampel Tph sampai saat ini tidak ada di Puspitek Serpong, Tangerang dan hal itu terungkap di pengadilan.

Sebelumnya, menanggapi putusan hukuman atas Bachtiar Abdul Fatah, kuasa hukumnya Maqdir Ismail mengaku belum dapat memahami pertimbangan putusan MA yang memutus dan menghukum Bachtiar dengan hukuman empat tahun dan denda Rp200 juta dalam perkara tersebut. "Putusan tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada," kata Maqdir.

Terkait putusan ini, Maqdir berpandangan bahwa hakim telah lalai melakukan tugas pokoknya mencari kebenaran untuk menegakkan keadilan. Hakim pun tidak memberikan penilaian terhadap sah dan tidak sahnya kedudukan Bachtiar sebagai terdakwa. "Fakta menunjukkan Bachtiar sebagai tersangka dalam perkara korupsi ini sudah dinyatakan tidak sah oleh satu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Maqdir menambahkan.

Maqdir menegaskan, dalam kasus ini fakta menunjukkan bahwa tidak ada kerugian negara dalam perkara ini karena PT CPI menanggung seluruh biaya proyek bioremediasi dan tidak ada penggantian dari pemerintah Indonesia sampai saat ini.

Selain itu pekerjaan dalam proyek bioremediasi yang dilakukan oleh kedua perusahaan rekanan PT CPI telah dibiayai dan dibayar sepenuhnya oleh PT CPI yang murni perusahaan swasta sesuai dengan kontrak.

"Kami akan melakukan upaya hukum berikutnya sehingga kebenaran dan keadilan bisa segera diberikan kepada saudara Bachtiar," tandas Maqdir.

BACA JUGA: