JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi memasuki babak baru. Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin mengabulkan pengujian Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Uji Materi itu dimohonkan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager  Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), terpidana empat tahun penjara atas perkara pengelolaan limbah tanpa izin.

Mahkamah menyatakan, Pasal 59 ayat (4) yang mengatur kewajiban izin pengelolaaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) inkontitusional bersyarat. Pasal itu dinyatakan Bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin".

Pasal ini sebelumnya berbunyi: "Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat Izin dari Menteri, Gubernur, atau  Bupat/Walikota sesuai dengan kewenangannya".

Mahkamah menyatakan kata "dapat" pada Pasal 95 ayat 1, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat.‎ Pasal 95 ayat (1) berbunyi: "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri".

Selanjutnya MK menghapus kata "dapat" tersebut dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa "tindak pidana lingkungan hidup" sepanjang tidak dimaknai "termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini".

Pasal ini kemudian menjadi berbunyi: "Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri".

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," tutur Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan perkara nomor 18/PUU-XII/2014, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/1).

Pertimbangan Mahkamah, terdapat ketidakjelasan aturan ijin pengelolaan limbah dalam UU PPLH. Menurut  MK, subjek hukum yang belum memperoleh perpanjangan izin ketika dalam proses mengajukan permohonan perpanjangan izin dan masih berlangsung, maka secara materiil sesungguhnya harus dianggap telah memiliki izin.

Seandainyapun terjadi keterlambatan perihal dikeluarkannya izin, sepanjang keterlambatan tersebut bukan merupakan kesalahan dari pihak yang mengajukan izin, maka tidak layak Pemohon diperlakukan sama dengan subyek hukum yang tidak memiliki izin sama sekali.

Mahkamah berpendapat, pengelolaan limbah menjadi hal mutlak yang harus diselesaikan tanpa menunggu izin yang terkesan hanya bersifat administratif. Sebab, objek hukum permasalahan tersebut adalah limbah B3, yang dapat berdampak buruk dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Sementara subjek hukum juga memproduksi limbah B3, berkewajiban mengelola limbahnya. Ketika tidak dilakukan, maka akan dapat merusak kelestarian lingkungan hidup dan dapat diancam dengan pidana.

"Kondisi tersebut merupakan keadaan transisional. Izin yang baru belum terbit dan izin lama secara formal telah tidak berlaku adalah suatu keadaan anomali," tutur Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan MK.

Sementara untuk pertimbangan Pasal 95 ayat 1, Mahkamah memandang perlu ada kerja sama yang terpadu antar penegak hukum, sehingga secara simultan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dapat dihindari. Keterpaduan ini tetap memperhatikan asas ultimum remedium sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dan perdata dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Mahkamah beralasan, pengertian tindak pidana lingkungan hidup, tidak hanya terbatas tindak pidana lingkungan hidup, tetapi juga tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana korupsi yang terjadi sebagai akibat pelanggaran UU PPLH. Sehingga tidak adil jika penegakan hukum terpadu tersebut hanya mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tidak mencakup tindak pidana lainnya.

Usai persidangan, kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail menyambut baik putusan MK tersebut. Dengan putusan ini, Maqdir menyatakan tidak tertutup kemungkinan kliennya, Bachtiar Abdul Fatah, akan mengajukan peninjauan kembali (PK). "Kami akan menunjukkan kepada majelis PK bahwa selama ini ada kesalahan tafsir dari pihak kejaksaan dan pengadilan," kata Maqdir kepada wartawan di Gedung MK, Rabu (21/1).

Perkara nomor 18/PUU-XII/2014, ini diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Mereka meminta MK menguji Pasal 59 ayat (4)  dan Pasal 95 ayat (1) terhadap UUD 1945. Sebab, akibat ketentuan pasal tersebut, Bachtiar ditetapkan sebagai tersangka dan telah dijatuhi pidana empat tahun penjara atas perkara korupsi proyek bioremediasi, pengelolaan limbah tanpa izin.

Perkara ini telah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasinya pada Oktober 2014. MA menghukum Bachtiar empat tahun penjara dan membayar denda Rp200 juta atas pengelolaan limbah tanpa izin tersebut.
 
Padahal, ketika melakukan pengelolaan limbah, saat itu juga Chevron tengah memperpanjangan izin pengelolaan limbah dan belum sepenuhnya diterbitkan.

Karena itu, saat membacakan pokok-pokok permohonnanya, kuasa hukum pemohon, Maqdir Ismail, meminta MK menyatakan Pasal 59 ayat (4) tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) tidak berlaku pada pengelola limbah B3 yang belum memiliki izin mengelola limbah B3 sendiri. Sementara limbah B3 tersebut berdasarkan alasan teknis dan perizinan tidak dapat dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4).

Maqdir juga meminta MK menyatakan kata "dapat" pada Pasal 95 ayat (1) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya pemohon meminta, menyatakan frasa tindak pidana lingkungan hidup dalam Pasal 95 ayat (1) tidak konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini".
 
Dalam kasus korupsi proyek bioremediasi itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh orang tersangka lainnya. Lima diantaranya adalah karyawan PT CPI, yaitu Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanto, Widodo dan Bachtiar sendiri. Keempatnya telah divonis berjalan dan harus menjalani hukuman dua sampai empat tahun penjara serta denda berkisar Rp100-200 juta. Sedangkan Direktur CPI Alexiat saat masih buron.

Dua tersangka lainnya berasal dari pihak kontraktor, yaitu Herland bin Ompo (Direktur PT Sumigita Jaya) dan Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis Herland dua tahun penjara dan Ricksy dengan lima tahun penjara.

BACA JUGA: