JAKARTA, GRESNEWS. COM – Pemerintah dan Front Pembela Islam (FPI) meminta Mahkamah Konstitususi (MK) menolak permohonan legalisasi perkawinan beda agama. Mereka menganggap upaya legalisasi dengan mengajukan uji materi (judicial revew) atas Pasal 2 Ayat (1) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dapat menimbulkan disharmonisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baik pemerintah maupun FPI berpendapat legalisasi pernikahan beda agama memungkinkan munculnya gejolak sosial di masyarakat hingga akan merusak ketetetapan dan aturan yang bersifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Kuasa hukum Pemerintah yang diwakili staf ahli bidang Hukum dan HAM Kementerian Agama, Machasin menegaskan pasal yang menyatakan: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu", sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana didalilkan para pemohon.
 
Menurutnya, Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan sejalan dengan ketentuan Pasal 27, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28I dan Pasal 29 UUD 1945. ‎Machasin juga tidak sependapat dengan pemohon yang menganggap pasal tersebut menghakimi, memaksa, suatu pernikahan. Sementara pencatatan perkawinan merupakan akta resmi sebagai dokumen negara.
 
Machasin menjelaskan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang juga wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini dimaksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokrasi.
 
"Pernikahan memiliki kaitan erat dengan agama dan kerohanian. Hak konstitusional tidak bisa dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Perlu ada batasan-batasan untuk menghormati hak konstitusional orang lain," tutur Machasin saat membacakan keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (14/10).
 
‎Sebaliknya, kata dia, apabila MK mengabulkan permohnan itu maka dapat menimbulkan disharmoni kehidupan berbangsa dan bernegara, memungkinkan munculnya gejolak sosial di masyarakat.
 
Sebagai pihak terkait, FPI juga meminta MK menolak permohonan perkara nomor 68/PUU-XII/2014 tersebut. Alasannya, permohonan penghapusan Pasal 2 Ayat (1) bukan hanya menyalahi norma agama tetapi juga menabrak tata cara, adat istiadat pernikahan setiap suku-suku di Indonesia.
 
Kuasa Hukum FPI Mirza Zulkarnaen menjelaskan, pasal tersebut mengandung filosofis dengan meletakkan norma agama berdasarkan Ketuhanan di atas aturan negara, serta memberi kebebasan bagi setiap orang untuk beribadat sesuai dengan agamanya. Aturan itu, lanjutnya, ditetapkan agar tidak terjadi pertentangan keabsahan perkawinan. Dengan teks tersebut, keyakinan masing-masing orang yang melakukan pernikahan dijamin menurut agama dan kepercayaan sehingga pernikahan dapat dilakukan sesuai agama.
 
"Mengingat setiap agama memiliki norma dan aturan berbeda soal perkawinan maka dua orang yang ingin melangsungkan pernikahan diwajibkan memilih salah satu agama untuk mengantisipasi terjadinya pertentangan dan perselisihan antara umat beragama," jelas Mirza dalam sidang yang sama.
 
Ia berpendapat, ketika tidak ada aturan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, maka pernikahan bisa dilakukan dengan perjanjian perdata. Sayangnya, lanjut Mirza, hal ini tidak dikenal di Indonesia.
 
Mirza membandingkan dengan prnikahan yang dilakukan di negara Amerika Serikat. Di negara sekuler ini, kata dia, pernikahan tetap saja dilakukan di Gereja dengan norma dan aturan gereja. Sementara negara berperan mencatat secara administrasi.
 
"Kekeliruan pemohon sangat fatal dalam menafsirkan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan tidak menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan menjalankan perkawinan," tegasnya.
 
Seperti diketahui, empat orang warga negara Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi mengajukan judicial review atas Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan. Bagi mereka, aturan itu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
 
Karena itu, para pemohon menginginkan ada pemaknaan baru (kondisional konstitusional)  terhadap klausul pasal tersebut yakni menjadi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanaya dan kepercayaan itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing mempelai".
 
Damian mengatakan, tujuan uji materi itu adalah untuk memosisikan negara sebagai pemberi fasilitas kepada warga negara yang akan melangsungkan perkawinan. Bukan menghakimi. "Kenyataannya penghakiman itu terjadi," jelas Damian kepada Waratawan seusai sidang di gedung MK, Selasa (14/10).
 
Alasannya, negara melalui pegawai pencatatan perkawinan dapat menentukan perkawinan mana yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Hal ini, kata dia, dapat dilihat ketika pegawai pencatatan sipil berhadapan dengan dua insan yang hendak melangsungkan perkawinan yang berbeda agama dan kepercayaan.
 
"Menghadapi ini, pegawai pencatat perkawinan dapat menolak atau menerima perkawinan tersebut tergantung pada penafsirannya semata. Itulah maksud kami, melindungi hak-hak warga negara agar ada persamaan hak di mata hukum," jelas Damian.
 

BACA JUGA: