JAKARTA, GRESNEWS.COM - Judicial Review (uji materil) terhadap Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) didukung sejumlah tokoh agama. Mereka meminta batasan umur yang lebih tinggi bagi anak agar tidak terjadi hal-hal yang berbahaya dari segi kesehatan maupun psikologis anak.

Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) yang tercatat sebagai pemohon, Zumrotin Susilo, meminta batas usia nikah perempuan direvisi dari 16 tahun menjadi di atas 18 tahun. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan disebutkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun.

Pasal ini dianggap melanggar Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU PA). Sebab dalam UU PA jelas diterangkan usia 16 tahun masih digolongkan berada di bawah umur.

"Kami mendukung usia nikah di atas 18 tahun dan siap memberikan pendapat di MK," ujar Albertus Patty Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dalam kesempatan yang sama di diskusi "Pandangan Tokoh Agama Mengenai Pernikahan Anak" di Komnas HAM, Menteng, Jumat (12/12).

Pada persidangan tanggal 18 Desember nanti, Albertus mengaku akan membeberkan sejumlah alasan penolakan usia nikah anak 16 tahun. Menurut ajaran agama Kristen, pernikahan merupakan kesakralan dua orang manusia bertemu dalam keintiman. Sehingga menikah di bawah umur bisa diartikan bentuk tidak menghargai tubuh manusia. "Usia 18 tahun bagi perempuan jauh lebih baik karena menghargai tujuan pernikahan," katanya.

Menurutnya, anak-anak yang menikah pada usia 16 tahun rata-rata bukan karena keinginan pribadi, melainkan paksaan dari orang tua. Sehingga para anak-anak ini mau tidak mau harus menuruti kehendak orang tua mereka. "Negara harus berdiri melindungi masa kecil mereka," tegasnya.

Perlu diketahui menurut Analisis Data Sekunder Sensus 2010 dan Susenas 2012, UNICEF Indonesia satu dari empat anak perempuan di Indonesia atau sekitar 25 persen dari total, menikah sebelum menginjak usia 18 tahun. Padahal, anak perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun memiliki risiko tinggi untuk tidak melanjutkan sekolah dan menjadi ibu pada usia di mana tingkat kesiapan baik fisik maupun mental masih rendah.

Sehingga hal itu berdampak pada risiko kematian ibu dan bayi, serta rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penyakit-penyakit yang menyerang kesehatan seksual dan reproduksinya. Anak perempuan berusia 10-14 tahun lima kali lebih beresiko meninggal pada saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20–24 tahun.

Pernikahan anak juga merupakan pelanggaran terhadap hak dasar dan memiliki akibat yang lebih luas. Tidak hanya mengakibatkan penderitaan fisik dan emosional, pernikahan anak juga merampas hak atas pendidikan, dan berkontribusi terhadap rantai kemiskinan yang dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tanpa pendidikan yang cukup, tanpa posisi tawar yang layak, dan dengan kerentanan yang tinggi terhadap masalah kesehatan dan kekerasan, dua generasi bangsa Indonesia dirugikan sekaligus. Harga yang harus dibayarkan untuk kerugian akibat pernikahan anak terlalu mahal bagi bangsa ini.

Sehingga menurutnya usia dewasa di Indonesia dicukupkan pada umur 17 tahun. Pada usia itu, seseorang bisa memiliki izin mengemudi, kartu penduduk, dan bahkan dilegalkan menonton film dewasa. "Tidak masuk akal anak usia 16 tahun mempunyai buku nikah," kata Albertus.

BACA JUGA: