JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tiga Perempuan korban perkawinan usia anak mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (UU Perkawinan) Ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/4).  Gugatan diajukan tiga perempuan, terdiri dari Endang Wasrinah,  Maryanti dan Rasminah karena negara dinilai masih lalai memberikan perlindungan pada perempuan dari praktik perkawinan anak.

UU tersebut masih memperbolehkan anak perempuan untuk kawin di usia dini, (Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan). Hingga saat ini negara juga belum melakukan perubahan atas UU tersebut. Padahal koalisi masyarakat sipil telah mengajukan draf perubahan atas UU yang dinilai diskriminatif dan melanggengkan ketidaksetaraan kedudukan hukum bagi anak perempuan itu ke Kantor Sekretariat Negara, namun pembahasan tak kunjung ada kemajuan. Bahkan keputusan Mahkamah Konstitusi 30-74/PUU-XII/2014  yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 justru telah menguatkan Praktik Perkawinan Anak.

Presiden Joko Widodo dan DPR kerap kali begitu cepat merespon kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan. Bahkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Kemudian DPR RI juga mensahkannya menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang.

Tetapi tidak dalam konteks perkawinan anak,  dalam hal ini  pemerintah dinilai belum menunjukkan dukungan melalui kebijakan strategis untuk mengakhiri perkawinan anak. "Padahal masyarakat sipil telah mengajukan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pencegahan Perkawinan Anak (Perppu Penghentian Perkawinan Anak) sejak tahun 2016," tulis Koalisi 18+  dalam rilisnya yang diterima gresnews.com.

Rancangan itu sempat didiskusikan bersama Kantor Staf Presiden serta Kementerian Agama, namun rancangan tersebut mangkrak hingga saat ini tanpa kejelasan kelanjutan pembahasan dan pengesahannya. Padahal di dalam perkawinan anak,  Koalisi 18+  menilai,  pasti terjadi kekerasan seksual. Untuk itu mereka mendorong langkah-langkah perubahan kebijakan dalam pencegahan Perkawinan Anak tersebut.

Koalisi menegaskan, dengan situasi saat ini,  pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menutup mata. Sebab  sesuai data BPS (2015) prosentase perkawinan anak usia 10-17 di perkotaan mencapai 0.9 persen, sedangkan di pedesaan 2.24 persen. Dari data tersebut 35.83 persen kawin sebelum usia 15 tahun 39.45 persen di usia 16 tahun, dan 24.72 persen di usia 17 tahun.

Perempuan yang kawin pada usia anak akan tercabut dari kesempatan menuntaskan pendidikan 12 tahun, berpotensi menanggung beban pengasuhan anak dan keluarga. Selain itu, perkawinan anak turut menyumbang pada tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia.

Perempuan yang melahirkan pada usia 10 - 14 tahun juga berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin,  dibandingkan kelompok usia 20 - 24 tahun. Menurut data WHO risiko ini meningkat dua kali lipat pada anak usia 15 - 19. Kementerian Kesehatan juga mengkonfirmasi kehamilan yang terlalu muda, menjadi salah satu penyebab kematian maternal. Hal itu menunjukkan perkawinan anak telah melanggar hak anak,  antara lain, hak atas pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dan bebas dari kekerasan seksual.

Untuk itu tiga orang perempuan yang menjadi korban perkawinan anak ini mengajukan Judicial Review atas UU Perkawinan dengan batu uji  Pasal 27 ayat (1) UUD 45 yang berbunyi,  "Konstitusi pada prinsipnya mengatur tentang Kedudukan warga negara, Penghidupan dan pembelaan terhadap Negara". Warga negara adalah sama kedudukannya, memiliki hak dan kewajibannya, setiap individu mendapat perlakuan yang sama dari negara.

Ketentuan ini juga dipertegas dalam konstitusi, yaitu UUD 1945 Bab X sampai Bab XIV pasal 27 sampai pasal 34. "Hari ini, negara harus mendengar langsung suara perempuan-perempuan korban perkawinan anak," tulis Koalisi.


MENAIKAN BATAS USIA NIKAH - Sekretariat Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari mengusulkan adanya perubahan terhadap batasan usia perkawinan.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sebelumnya mengaku pernah mengajukan usulan perubahan batas usia perkawinan ke Kantor Sekretariat Negara. Penyerahan usulan itu disampaikan pada Mei 2016 lalu.  Mereka menghendaki perubahan atas usia minimum perkawinan  seperti dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang minimal 16 tahun.

Menurut Sekretariat Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartika Sari usia minimum itu memiliki efek negatif bagi perempuan dan anak. Antara lain tingginya risiko terkena kanker serviks. Selain itu pada usia muda, perempuan cenderung belum memahami konsekuensi dari sistem reproduksi. Kondisi ini juga dapat mengubah persepsi seseorang terhadap seksualitas.

"Ada yang umur 12. Dia hamil juga enggak tahu, jadinya enggak pernah periksa dokter. Anaknya lahir di kamar mandi dikira buang air besar. Pengaruh juga ke mental. Ada yang membenci, ada yang berubah orientasi (seksual) karena merasa disakiti, ada yang menjadi kebutuhan hidup," ujar Dian, seperti dilansir koalisiperempuan.or.id.

Menurutnya pada tahun 2016 terdapat 750.000 perkawinan anak yang rata-rata usia perkawinan itu hanya bertahan sekitar dua tahun. Pemerintah menurut Dian, harusnya bisa mencontoh langkah sejumlah daerah yang telah menaikkan usia nikah. Seperti daerah Nusa Tenggara Barat yang menaikkan usia nikah anak laki-laki dan perempuan minimum menjadi 21 tahun. 

BACA JUGA: