JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lima mahasiswa Universitas Indonesia yang menggugat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khusus terkait aturan yang melarang pernikahan beda agama ke Mahkamah Konstitusi tidak selalu ditanggapi positif oleh pelaku pernikahan beda agama itu sendiri. Sebuah situs milik komunitas orang-orang yang menikah berbeda agama misalnya, banyak memuat komentar yang menyayangkan aksi kelima mahasiswa Fakultas Hukum UI itu.

Salah satu akun peserta situs komunitas beda agama itu, sebut saja namanya Doni, mengaku khawatir dengan semakin ramainya isu nikah beda agama itu. Dia khawatir dengan semakin ramainya isu ini diperbincangkan publik, mereka-mereka yang ingin menikah dengan pasangannya yang beda agama justru bakal semakin mengalami kesulitan.

Doni beralasan, secara otomatis lembaga atau fasilitator pernikahan beda agama harus lebih berhati-hati untuk membantu pasangan yang ingin menikah berbeda agama. "Secara otomatis lembaga dan fasilitator pernikahan beda agama baik yang didepan layar maupun dibelakang harus lebih hati-hati ditakutkan adanya orang-orang fanatik atau garis keras yang menentang," ujar Doni dalam komentarnya di situs tersebut, Rabu (17/9) malam kemarin.

Doni memang mengakui kurang memahami undang-undang tersebut, namun ia mengklaim mendapat dukungan dari keluarganya yang demokratis untuk menikah beda agama. Ia menegaskan, pernikahan dengan istrinya tersebut hanya didasarkan rasa cinta yang tulus.

Pelaku pernikahan beda agama lainnya Yuni (nama disamarkan-red) juga menyayangkan adanya gugatan tersebut. "Saya memang bukan dari jurusan hukum, tapi kalau saya baca isi dari UU perkawinan tersebut, rasanya kurang pas kalau UU tersebut digugat ke MK, kalau tujuannya ingin melegalkan pernikahan beda agama," ujar Yuni.

Yuni beralasan, yang menjadi dasar dari disahkannya UU tersebut adalah apakah secara hukum agama, perkawinan itu sah atau tidak. Kalau ternyata ada agama yang bisa menyatakan pernikahan beda agama adalah sah, maka secara otomatis negara pun akan melegalisasi pernikahan beda agama tanpa perlu merubah UU perkawinan.

Ia juga mengaku bingung dengan undang-undang yang menyatakan pernikahan harus berdasarkan hukum agamanya masing-masing. "Karena ajaran agamakan diambil dari kitab suci, hadist nabi dan dalil-dalil sehingga tidak bisa digugat secara hukum," ujarnya.

Yuni menambahkan, jika ternyata ada pendapat ulama yang membolehkan nikah beda agama dengan mendasarkan pada dalil tertentu dan itu bisa dianggap hukum agama yang sah maka seharusnya Kantor Urusan Agama tidak boleh menolak untuk mendaftarkan pernikahan tersebut.

"Sama halnya dengan kasus saya di mana ada pendeta yang mau menikahkan saya yang beragama Islam dengan pasangan yang beragama Kristen. Sehingga gereja bisa mengeluarkan surat nikah dan dilegalisasi oleh negara melalui akta nikah," katanya menandaskan.

Ia menganggap, ketika membaca gugatan tersebut seolah-olah pernikahan beda agama yang dia lakukan adalah tidak legal di mata hukum. Padahal ia yakin pernikahannya tersebut sah dimata hukum dan menurut agama yang dianutnya.

BACA JUGA: