JAKARTA, GRESNEWS.COM - Yusril Ihza Mahendra, saksi ahli yang diajukan pasangan Prabowo-Hatta menyebut norma Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Dengan demikian, kata Yusril, kedaulatan dalam persfektif tata negara untuk menyatakan siapa yang akan menentukan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. "Artinya, rakyatlah yang memenuhi persyaratan yang berhak menentukan presiden dan wakil rakyat," ujarnya di Mahkamah Konstitusi, Jumat (15/8).

Selanjutnya, kata ahli hukum tata negara ini, mekanisme kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihannya diatur dalam Pasal 22 huruf e UUD 1945, yakni melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu itu bersifat tetap, nasional, dan mandiri. Menurut Yusril, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam menentukan siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden bukan norma biasa, tapi terkait norma hukum konstitusi.

"Karena itulah jika muncul persoalan antara berbagai pihak terkait pelaksanaan presiden dan wakil presiden maka hukum yang berhak mengadili perkara adalah Mahakamah Konstitusi," jelas Yusril.

Ketika menyusun UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ahli (Yusril) mewakili Presiden menyerahkan Rancangan UU MK ke DPR. Menurut Yusril, karena waktu yang sangat mendesak waktu itu, para pembuat UU berupaya menyederhanakan kewenangan MK dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) menjadi semata-mata yang terkait dengan perselisihan perhitungan suara yang diumumkan KPU dengan penghitungan suara yang benar menurut anggapan pemohon.

"Kalau hanya ini kewenagan MK maka mendekati benar pernyataan saudara Margarito Kamis, bahwa MK hanya menjadi mahkamah kalkulator dalam menyelesaikan perkara PHPU yang terkait dengan angka-angka semata," tutur Yusril.

Yusril mengakui, dalam perkembangannya MK telah menciptakan yurisprudensi baru menilai perolehan suara itu didapat atau tidak dengan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). "Sudah saatnya pembentuk UU dan MK meluaskan kewenagannya untuk melangkah ke yang lebih substansial dalam mengadili dan memutuskan perkara PHPU, khususnya perkara Pilpres 2014," ujarnya.

Ia mencontohkan, hal ini dilakukan Mahkamah Thailand yang dapat menilai apakah pelaksanaan dan penyelenggaran pemilu itu konstitusional atau tidak sehingga tidak menjadi sekedar menilai angka-angka semata. Masalah substansial yang dimaksud Yusril adalah terkait konstitusional dan legalitas pemilu itu sendiri apakah konstitusionalitas penyelenggaraan sudah berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil oleh KPU maupun para peserta pemilu.

"Termasuk penyelenggara negara, penyelenggara pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. Begitu juga terkait prosedur prosedur pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur UU," ujar Yusril.

Selain konstitusionalitas, hal lain yang perlu menjadi pertimbangan MK adalah legalitas pelaksanaan pemilu sebagai aturan pelaksana pemilu. "MK harus mempertimbangkan konstitusionalitas dan legalitas untuk memutuskannya dengan adil dan bijaksana," jelasnya.

Menurut Yusril, memeriksa dan memutus apakah pemilu dilakukan secara konstitusional dan legalitas sangat penting dari sudut hukum tata negara karena presiden dan wakil presiden harus lebih dulu mendapat konstitusional dan legalitas. "Dilihat dari sudut tata hukum tata negara, konstitusional dan legalitas itu menjadi fundamental," tegas Yusril.

Sebab menurut Usril, siapapun yang akan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih akan berhadapan dengan krisis konstitusional dan legalitas yang berakibat dengan tersanderanya stabilitas politik. "Ada baiknya dalam memeriksa perkara PHPU Pilpres 2014 ini, MK melangkah kearah itu," tutupnya.

Sebelumnya, MK memang sudah didesak untuk tidak sekadar memutuskan penetapan perolehan suara, penghitungan suara ulang dan rekapitulasi suara ulang. Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi mengatakan, MK harus mencari keadilan substantif dalam memutus perkara perselisihan pemilu.

Hanya saja kata dia, memang sulit bagi MK menghindari "stempel" sebagai mahkamah kalkulator. Pasalnya, proses peradilan dilangsungkan dengan waktu yang sangat terbatas, sehingga hakim MK seolah berpacu dengan waktu dalam menyelesaikan perkara. Selain itu, posisi hakim yang belum aktif untuk mencari dan menggali informasi dari setiap perkara yang disidangkan.

"Keadaan inilah kemudian yang membuat proses di MK hanya menjadi tempat penetapan perolehan suara yang benar untuk masing-masing pihak dan melakukan koreksi terhadap hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU," jelasnya kepada Gresnews.com beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: