JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Serikat Nasional (KSN) yang diwakili Presiden DPP KSN Ahmad Dharyoko dan Sekretaris Jendal DPP KSN Hamdani. Sebab gugatan DPP KSN yang diwakili Ahmad dan Hamdani dan tidak menyertakan wakil presiden dan bendahara umum DPP KSN dalam mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan), akibatnya MK menyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

"Ahmad Dharyoko dan Hamdani tidak mempunyai kedudukan hukum mengatasnamakan DPP KSN untuk mengajukan permohonan hukum," kata Ketua MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 10 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Pasal 11 Ayat (3), Ayat (4), Pasal 20, Pasal 33 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 56 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (4), di Gedung MK, Jakarta, Rabu (14/5).

Pertimbangan hukum MK bahwa kedudukan pemohon berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU MK), Ayat (1) dinyatakan: "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: Perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, Badan Hukum Publik atau privat, dan/atau Lembaga negara.

Ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1). Ayat (3), dalam permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”, yang dalam huruf a menyebutkan “Perorangan warga negara Indonesia”. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

MK menilai kerugian hak konstitusional yang dimaksud Pasal 51 Ayat (1) harus memenuhi kriteria yang dipersyaratkan aturan hukum DPP KSN. Dalam  aturan internal DPP Konfederasi Serikat Nasional dinyatakan "Pengurus DPP KSN setidak-tidaknya terdiri dari a) seorang presiden, b) wakil presiden, c) sekretaris jenderal, dan d) bendahara umum".

Dihubungkan dengan Pasal 23 Ayat (1) huruf f konstitusi Konfederasi Serikat Nasional disebutkan, tugas dan tanggung jawab DPP adalah mengatasnamakan atau mewakili KSN dalam berhubungan dengan pihak lain secara nasional maupun internasional.

Dalam  Pasal 23 Ayat (1) huruf f, dinyatakan yang dapat mewakili KSN dalam berhubungan dengan pihak lain secara nasional maupun internasional setidaknya terdiri dari seorang presiden, b) wakil presiden, c) sekretaris jenderal, dan d) bendahara umum. Sedangkan Ahmad Daniel selaku presiden DPP KSN dan Hamdani sebagai Sektretaris Jendal DPP KSN, tidak bisa disebut selaku DPP KSN. Sebab tidak menyertakan wakil presiden dan bendahara umum DPP KSN sebagai pemohon.

"Dengan demikian, menurut Mahkamah yang dapat mengatasnamakan DPP KSN harus terdiri dari seorang presiden, wakil presiden, sekretaris jenderal, dan bendahara umum DPP KSN dalam mengajukan permohonan pengujian," kata hakim Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan hakim MK dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 106/PUU-XI/2013, Rabu (14/5).

Maka kata Patrialis Ahmad dan Hamdani tidak dapat bertindak sebagai mewakili DPP KSN dalam berhubungan dengan pihak lain dalam hal ini melakukan permohonan pengajuan hukum. Sehingga Ahmad dan Hamdani tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). "Sehingga permohonan tidak dapat dipertimbangkan," ujarnya.

Sebelumnya, pemohon menilai ada standar ganda dalam pembelakuan UU Ketenagalistrikan. Selain memuat potensi unbundling (pemisahan usaha) yang menyiratkan semangat liberalisasi, mekanisme pasar bebas, berakhirnya monopoli PLN dan privatisasi. Di sisi lain, ada pasal-pasal yang mencegah unbundling karena tarif listrik diatur negara.

"Standar ganda UU Ketenagalistrikan sengaja diciptakan untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Pada saat pemangku kepentingan berhasrat menjual aset negara (privatisasi), maka diajukanlah argumentasi bahwa di sana ada pasal-pasal unbundling. Sebaliknya, undang-undang tersebut menyiapkan pasal-pasal yang menghindarkan unbundling sehingga tidak bisa dikatakan melanggar UUD 1945," kata Ahmad, beberapa waktu lalu.

Menurut Ahmad, UU Ketenagalistrikan mempunyai naskah kebijakan yang sama, yaitu restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, Departemen Pertambangan dan Energi yang diterbitkan Agustus 1998. Naskah kebijakan tersebut menggariskan antara lain Perusahan Listrik Negara (PLN) akan mengalami unbundling (pemisahan usaha) secara vertikal, juga secara geografis atau unbundling secara horisontal.

Unbundling vertikal diterapkan di Jawa Bali yaitu dengan melakukan privatisasi pembangkit, transmisi dan distribusi yang saat ini sudah dipersiapkan. Caranya dengan merevisi daftar investasi negatif, yaitu dengan menawarkan pembangkit, transmisi, dan distribusi kepada investor asing untuk membelinya dengan penguasaan saham antara 95 sampai 100%. Selanjutnya, tarif listrik akan mengalami liberalisasi dengan mengikuti mekanisme pasar bebas, tutur Daryoko, saat menyampaikan perubahan gugatannya di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.

BACA JUGA: