JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ancaman krisis listrik membayangi Indonesia hingga tahun 2017 mendatang. Tingginya kebutuhan listrik  yang diperkirakan mencapai 35.000 MW hingga tahun 2019 dipastikan tak bisa seluruhnya dipenuhi oleh perusahaan listrik negara PT PLN.

Sebab kesanggupan  PLN  hanya mampu membangun 10.000 MW. Sehingga  penyediaan listrik ini masih kekurangan sekitar 25.000 MW yang didorong untuk dikerjakan pihak swasta. Untuk itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya diantaranya, pembenahan regulasi dan mengundang masuknya investor asing di bidang tenaga listrik.

Besarnya keterlibatan pihak swasta dalam pemenuhan kebutuhan listrik ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah  pihak. Termasuk Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) yang menghendaki pengelolaan serta pengaturan listrik tetap berada di tangan pemerintah dalam hal ini PT. PLN Persero yang notabene perusahaan BUMN.

Untuk itu SP PLN mengajukan gugatan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang Tenaga Listrik yang menjadi acuan pengelolaan serta pengaturan listrik oleh negara. Pengajuan gugatan UU Tenaga Listrik ini merupakan kedua kalinya. Sebelumnya 12 tahun lalu SP PLN juga pernah mengajukan gugatan tentang Ketenagalistrikan atau UU Nomor 20 Tahun 2002. Saat itu gugatan tersebut dimenangkan oleh MK pada sekitar tahun 2003, hingga menghasilkan UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 ini.

Dalam gugatan kali ini para pemohon mempersoalkan sejumlah Pasal yang dianggap berpotensi sebagai liberalisasi listrik dengan pola unbundling  vertikal (pemisahan proses bisnis PLN) sesuai dengan regional atau wilayah masing-masing dan kemudian menuju pada unbundling horizontal, seperti halnya pernah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2002 yang lalu.    

Selain itu, para pemohon juga menengarai UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ini memberikan celah pihak swasta yang terlibat pada penyediaan listrik mengintervensi PLN. Dengan demikian, para pemohon menilai proses pemisahan tersebut akan berdampak pada tingginya penetapan harga tarif dasar listrik dan munculnya PHK sepihak bagi karyawan PT PLN karena penyediaan tenaga listrik sudah tidak lagi sepenuhnya di tangan PT PLN.

Para pemohon mempersoalkan pasal-pasal seperti Pasal 10 ayat 2, Pasal 16 ayat 1 huruf d dan huruf e, Pasal 33 ayat 1, Pasal 34 ayat 5, dan Pasal 56 ayat 2. Para pemohon menganggap Pasal-Pasal di dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan itu telah bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga mereka mendesak untuk dibatalkan.

MEMBUKA RUANG INTERPRETASI – Direktur Eksekutif  Institute for Essential Service Reform (IESR) Febby Tumiwa mengatakan, dalam UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 ini memang membuka ruang interpretasi. Terutama terkait liberalisasi listrik yang mengarah pada pengelolaan, penyediaan dan pengaturan listrik dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini PT PLN atau oleh pihak swasta.

Dalam Pasal 10 ayat 2 dinyatakan, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi. Frase dapat dalam pasal tersebut, kata Febby,  sangat memungkinkan diinterpretasikan dalam ranah pemisahan proses penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari empat jenis wilayah usaha yaitu, pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, dan penjualan tenaga listrik.

"UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 ini memang memiliki nuasa pendekatan yang dipakai pada UU sebelumnya (UU Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002). Tapi tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa akan ada unbundling, tapi memang kalau kita lihat peraturan UU itu diberikan kepada Pemda untuk mengatur dan menyediakan listrik. Dengan demikian bisa dikatakan unbundling vertical itu sudah tidak ada lagi," kata Febby Tumiwa kepada gresnews.com, Rabu (28/10).

Ia menambahkan, dalam UU Ketenagalistrikan No 30 Tahun 2009 ini pemerintah memberikan ruang kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan penyediaan tenaga listrik di daerahnya masing-masing. Dengan demikian, ia berharap dengan dilibatkannya Pemerintah Daerah untuk menyediakan, mengatur serta melayani masyarakat akan listrik, harus mengacu pada semangat keputusan  MK sekitar 12 tahun silam yang tidak memperbolehkan unbundling dalam penyediaan listrik tersebut.

Ia mengisahkan, dalam UU Ketenagalistrikan tahun 2002 atau sebelum diberlakukan UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini, pemerintah telah secara jelas mengatur pihak swasta untuk berperan aktif dalam membangun tenaga listrik, menyediakan transmisi listrik, mengatur distribusi listrik, hingga pada retail listrik itu sendiri.

Menurutnya, pada UU Ketenagalistrikan yang lama, posisi PT PLN selaku BUMN yang bertanggungjawab atas penyediaan listrik di Indonesia hanya berperan sebagai regulator. Dari sana, kemudian sejumlah pihak mengajukan judicial review ke MK sekitar tahun 2003. Sebab, menurutnya dalam UU Ketenagalistrikan yang lama sangat jelas termuat  aroma masuknya pihak swasta atau asing yang hendak mengintervensi pemerintahan dalam penyediaan hingga penetapan harga Tarif Dasar Listrik (TDL).

Selain itu, kata Febby, dalam UU Ketenagalistrikan tahun 2002 juga telah tertulis jelas aturan tentang unbundling vertikal yang kemudian memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha, yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan tenaga listrik. Pemisahan usaha tersebut kata Febby memang memiliki muara pada liberalisasi listrik.

"Argumentasi penolakannya waktu itu, biaya atau cost penyediaan listrik akan lebih mahal. Karena kan banyak perusahaan yang akan terlibat mulai dari pembangkit, transmisi, distribusi hingga retail, dari situ sudah terlihat pasti akan ada peningkatan cost TDL. Sehingga MK ketika itu mengabulkan permohonan uji materi itu," tutur Febby yang sempat menjadi ahli uji materi UU Ketenagalistrikan tahun 2002 itu.

Berbedanya UU Ketenagalistrikan 2002 dengan UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini, sangat jelas pemerintah telah mengatur penyediaan listrik tersebut oleh swasta. "Pemerintah hanya regulator di situ," tegasnya.

Berbeda dengan UU sebelumnya, UU Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 ini memang penyediaannya memberikan kesempatan kepada Pemda untuk memenuhi kebutuhan umum. "Nah ini yang membedakan, kalau dulu diberikan kepada swasta secara keseluruhan, di UU ini diberikan kepada Pemda. Jadi kalau Pemda tidak mampu karena mahal, logikanya kembali memberikan kepada PLN," jelasnya.

SEMANGAT YANG SAMA – Namun kuasa hukum Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN), Fandrian mengatakan, UU Ketenagalistrikan Tahun 2009 memiliki semangat yang sama dengan UU Ketenagalistrikan tahun 2002. Dalam UU Ketenagalistrikan Tahun 2009 tetap mengarah pada unbundling seperti halnya pernah diatur UU Ketenagalistrikan Tahun 2002 silam.

Menurut dia, proses unbundling dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat 1 yang telah mengatur pemisahan jenis usaha menjadi empat bagian yaitu, pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan listrik.

Padahal, lanjut Fandrian, pemisahan bidang usaha tersebut juga berdampak pada penetapan harga TDL. Dimana dipastikan harga akan melambung tinggi, sebab pengelolaan empat bidang usaha tersebut dapat dimaknai dengan tanpa terintegrasi dengan PLN selaku perusahaan BUMN yang seharusnya memiliki prioritas memenuhi kebutuhan dasar listrik masyarakat.

"Logikanya, karena swasta atau koperasi atau BUMD akan juga menghitung cost oriented dari produksinya selama ini, sehingga ujungnya adalah penetapan TDL  yang akan berakhir dengan harga tinggi juga. Itu sama halnya dengan UU ketenagalistrikan tahun 2002 yang permohonannya dikabulkan MK tahun 2003 silam,” kata Fandrian kepada gresnews.com di Mahkamah Konstitusi, Senin (26/10).

Menurutnya, alasan MK membatalkan UU Ketenagalistrikan Tahun 2002 adalah energi listrik adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara untuk masyarakat. Berangkat dari pemahaman konsep negara itu, Fandrian berpendapat, usaha penyediaan listrik ini tidak boleh dibagi-bagi menjadi empat jenis usaha yang saat ini dilakukan oleh PLN. Secara keseluruhan harus terintegrasi tidak dipisah seperti pembangkit, transmisi, distribusi dan penjualan.

"Jadi konten UU Ketenagalistrikan tahun 2002 yang dibatalkan oleh MK, kembali dihidupkan dalam UU  Ketenagalistrikan Tahun 2009 ini.  Namun dengan menyatakan ‘dapat’ terintegrasi itu artinya tetap ada unbundling disitu," tegasnya.

Selain itu, UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini telah menyatakan bahwa swasta, koperasi, BUMD, atau Pemerintah Daerah dapat terlibat dalam proses penyediaan listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hanya saja ia menyangsikan bahwa keterlibatan pihak swasta atau Pemerintah Daerah dapat menyerahkan pengelolaan hingga penjualan listrik itu tetap berada di tangan PLN atau Pemerintah.

Hal itu didasari atas rencana pemerintah yang akan memberlakukan  regionalitas terhadap PLN. Ia menambahkan, pihaknya tidak hanya melihat persoalan listrik ini dari masalah penetapan harga listrik semata. Akan tetapi melihat dari hulu sampai hilir. PLN dalam hal ini satu-satunya perusahaan milik negara yang wajib melakukan penyediaan dari hulu sampai hilir baik pembangkit, transmisi, distribusi hingga penjualan, tidak boleh terbagi-bagi, termasuk oleh Pemerintah Daerah.

"Boleh saja Pemda atau swasta terlibat disana, tetapi tetap operasional, pengelolaan hingga penjualan harus dikuasai PLN. Karena konsep negara untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat harus seperti itu," tegasnya.

Lebih jauh lagi Fardian menilai UU Ketenagalistrikan Tahun 2009 ini telah mengebiri PLN yang seharusnya memiliki prioritas dalam memenuhi kebutuhan dasar listrik negara. Dengan melegalkan pihak selain   PLN,  maka dapat dikatakan pemerintah telah mengebiri PLN yang notabene perusahaan milik negara.

Ketika disinggung keterbatasan PLN yang tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik masyarakat selama ini, Fandrian menegaskan, telah menjadi tugas pemerintah memberikan support kepada perusahaan yang berwenang soal listrik tersebut. Ia mengaku tidak membatasi pemerintah membantu mencari investor atau pihak swasta yang ingin terlibat dalam memperkuat tugas PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik tersebut.

"Campur tangan swasta itu diperbolehkan dengan catatan dalam bentuk investasi, katakanlah PLN tidak memiliki dana untuk membangun pembangkit, silahkan kerjasama dengan swasta, tetapi yang menguasai, yang mengelola, yang mengatur itu tetap PLN tidak boleh pihak asing atau swasta," tegasnya.

Pada kesempatan berbeda, Sekjen SP PLN, Eko Sumantri, mengatakan, pemberlakuan UU Ketenagalistrikan Tahun 2009 ini tidak hanya berdampak PHK karyawan atau pekerja PLN. Menurutnya akibat kebijakan regionalisasi yang diatur oleh UU tersebut,  juga berdampak pada PHK pekerja atau buruh di pabrik-pabrik karena harga yang melambung tinggi. Sebab diserahkanya pengelolaan listrik kepada pihak swasta, maka penetapan harga TDL yang mahal akan menjadi resiko yang tak bisa dielakan. Selain itu, pemberlakuan UU ini akan berdampak penetapan harga TDL yang berbeda-beda antara daerah.

"Tarif listrik akan berbeda-beda perdaerah dan akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Makanya dalam permohonan kami menolak regionalisasi dalam undang-undang itu, arahnya akan seperti itu," tegasnya.

POKOK GUGATAN SAMA – Namun staf ahli Menteri ESDM Bidang Lingkungan dan Tata Ruang, Yun Yunus Kusumabrata, mengatakan, pokok persoalan yang diajukan para pemohon pada dasarnya memiliki kesamaan pada permohonan tahun 2009 yang telah ditolak oleh MK.

Berdasarkan pertimbangan putusan uji materi Perkara No.149/PUU-VIII/2009, kata Yunus, Mahkamah menyatakan bahwa UU Ketenagalistrikan tahun 2009 membuka kemungkinan pemisahan usaha (unbundling) dalam ketenagalistrikan. Namun, sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 4, sifat unbundling yang diatur dalam UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini tidak sama dengan unbundling yang dimaksud dengan UU Ketenagalistrikan tahun 2002. Ia menegaskan, perbedaannya penetapan atau ketentuan TDL ditentukan oleh Negara, dalam hal ini Pemerintah dan DPR atau pemerintah daerah dan DPRD sesuai tingkatannya.

Selain itu, BUMN dalam hal ini PLN tetap diberikan prioritas utama dalam menangani usaha ketenagalistrikan nasional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. "Seperti yang diatur dalam Pasal 11 ayat 4 dalam UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini," paparnya.

Terkait pemisahan empat bidang usaha seperti pembangkit, transmisi, distribusi, dan penjualan. Yunus berdalih, hal tersebut guna mengatur wilayah usaha penyediaan tenaga listrik yang tetap dilakukan secara terintegrasi. Wilayah usaha tersebut juga dilakukan secara monopoli bukan kompetisi.

Terkait penetapan harga yang dikhawatirkan akan melambung tinggi setelah pemisahan wilayah usaha, Yunus beralasan, pemerintah telah mengatur prinsip usaha yang sehat dalam UU Ketenagalistrikan Tahun 2009. Prinsip usaha yang sehat menurutnya, adalah bukan  dengan cara menentukan harga dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya atau melalui mekanisme pasar.

"Jadi dalam undang-undang ini harga jual sekali lagi bersifat regulated, ditetapkan oleh atau atas persetujuan Pemerintah dan DPR atau Pemerintah Daerah dan DPRD. Penentuannya memperhatikan kesepakatan antara badan usaha, dengan kata lain tidak ada penentuan harga melalui hukum permintaan dan penawaran dan pelaku usaha tidak dapat menetapkan harga tanpa persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah," jelasnya.

Dengan demikian ia menegaskan bahwa UU Ketenagalistrikan tahun 2009 ini tidak meliberalisasi sektor ketenagalistrikan. Sebab, liberalisasi ketenagalistrikan adalah pelaku usaha menetapkan harga jual dan tarif tenaga listrik sebebas-bebasnya tanpa diatur secara ketat oleh Pemerintah seperti dalam UU Ketenagalistrikan Tahun 2009 ini. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: