JAKARTA, GRESNEWS – Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) melakukan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan. Pemohon adalah Adri dan Eko Sumantri selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pekerja PT PLN (Persero) yang menguji Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.

Kuasa Hukum para pemohon dari Tim Pembela Kedaulatan Energi Ari Lazuardi mengatakan sejumlah pasal dalam UU Ketenagalistrikan dianggap dianggap merugikan kepentingan energi nasional, sekaligus nasib para karyawan atau para pekerja di salah satu anak perusahaan milik negara tersebut.

Ia menjelaskan, dalam salah satu permohonannya, yaitu Pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan mengatur tentang pembagian usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan ini dianggap  bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.
Sebagaimana diketahui penyediaan listrik terdiri dari infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, jalur transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik.

Menurut Ari, penyediaan tenaga listrik seharusnya menjadi tanggung jawab PT PLN namun dalam pasal tersebut akan diserahkan oleh pihak swasta yang mampu menyediakan infrastruktur.

"Pasal ini menyebabkan PLN tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kuasa usaha kelistrikan, tapi menjadi bagian dari perusahaan-perusahaan yang dapat melakukan usaha tenaga listrik untuk kepentingan umum," kata Ari Lazuardi kepada gresnews.com usai sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tentang Ketenagalistrikan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin(12/10).

Dalam persidangan tersebut pemohon mengajukan penambahan pasal yang hendak diujikan yakni Pasal 11 ayat 1 UU Ketenagalistrikan. Pemohon menganggap, sepanjang frasa "badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang tenaga listrik" dalam Pasal Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.  

Menurut Ari, ketentuan tersebut memberikan peluang bagi badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik untuk dapat melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Padahal seharusnya PLN saja yang berhak melakukan usaha tersebut.

Selain Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1), lanjut Ari, pihaknya juga menguji beberapa pasal lainnya, yaitu Pasal 16 ayat (1) Huruf D dan E, Pasal 33 ayat (1), serta Pasal 34. Beberapa pasal tersebut diyakini Ari telah bertentangan dengan UUD 1945.

"Listrik itu kan kepentingan umum yang seharusnya dikuasai oleh negara sehingga pengelolaannya juga harus ditangani oleh negara," katanya.


DALIL PEMOHON - Sebagaimana diketahui, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.

Menurut Pemohon, materi muatan ketentuan yang diujikan tersebut memuat mengenai pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik.

Pemohon menganggap, ketentuan tersebut merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.

Selain itu, menurut Pemohon, frasa ”prinsip usaha sehat” dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ”secara berbeda” dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon menganggap bahwa ada variabel yang mempengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha dan adanya potensi terjadinya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik akan mahal.

Dengan demikian, Ari dalam penjabaran di muka persidangan yang dipimpin oleh Ketua Hakim Mahkamah, Maria Farida Indrawati, meminta agar Hakim Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi atas sejumlah pasal yang menyangkut dengan persoalan energi nasional dan nasib para pekerjanya itu.

Menganggapi hal tersebut, Hakim Mahkamah, Maria Farida Indrawati, mengatakan akan membawa permohonan judicial review yang diajukan oleh para pekerja PT PLN itu ke Rapat Permusyawaratan Hakim Mahkamah.  "Nanti Rapat Permusyawaratan Hakim itu yang akan menetapkan bagaimana kelanjutan sidang dari permohonan Anda," ucap Hakim Mahkamah Maria Farida sesaat sebelum menutup persidangan.

KARYAWAN JADI KORBAN PERTAMA – Pemberlakuan sejumlah pasal dalam UU No 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan patut diduga sebagai salah satu upaya meliberalisasi energi, khususnya listrik. Dengan dibukanya kran bagi pihak swasta atau asing masuk dalam penyediaan listrik yang notabene sebagai salah satu energi pokok masyarakat tanpa di monitoring oleh PT PLN selaku anak perusahaan BUMN akan berdampak pada para pekerja dan masyarakat luas.

Salah satu pemohon uji materi, Ketua Umum SP PLN, Adri, mengatakan sejumlah pasal yang digugat dianggap merugikan para pekerja PT PLN. Menurutnya, Pasal 16 ayat 1 butir huruf D dan huruf E UU Ketenagalistrikan menjelaskan tentang pengerjaan pengoperasian dan pemeliharaan dalam infrastruktur penyediaan listrik itu adalah pekerjaan yang bisa dijadikan sebagai pekerjaan jasa penunjang.

Akibat pasal itu, lanjut Adri, tidak sedikit teman-teman dari SP PLN di daerah-daerah yang di-nonjob-kan. Sebab, PT PLN mempersilahkan vendor-vendor yang masuk pada wilayah pekerja outsourcing.

"Dengan adanya pasal tersebut kemungkinan nanti SP PLN akan menjadi perusahaan jasa saja akhirnya. Nah itu yang sangat menggangu teman-teman serikat pekerja PT PLN," kata Adri kepada gresnews.com.

Selain itu, Undang-Undang ini juga berdampak pada masyarakat luas. Sebab, dengan peraturan perundang-undangan yang mempersilahkan pihak swasta atau pihak asing mengelola listrik di Indonesia, ini akan berdampak pada harga listrik yang dibebankan kepada masyarakat.  

Menurutnya, para pekerja secara langsung dirugikan dengan adanya peraturan dalam UU Ketenagalistrikan tersebut. Ia pun berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan gugatan uji materi yang disampaikan pihaknya.

"Karena kan logikanya ketika perusahaan melakukan peleburan atau perubahan, maka otomatis akan ada PHK. Nah, kalau pihak swasta atau asing masuk, maka teman-teman pekerja PLN pasti akan banyak yang jadi korban," ucapnya mengakhiri pembicaraan dengan gresnews.com.


BUKAN KALI PERTAMA - Gugatan terhadap UU Ketenagalistrikan bukan pertama kali. Sebelas tahun lalu, MK telah membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dari putusan itulah lahir UU Ketenagalistrikan yang berlaku saat ini.

Saat itu UU Ketenagalistrikan digugat beberapa LSM seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM dan Serikat Pekerja PLN. Mereka menilai UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan konstitusi karena menganut prinsip swastanisasi. Dalam UU tersebut diatur bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara terpisah-pisah (unbundling).

Mengenai hal itu, MK berpendapat bahwa Pasal 16 UU No 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat BUMN terpuruk. MK melihat hal ini membawa dampak lebih. Sebab, ketentuan itu bisa membuat ketiadaan jaminan pasokan listrik. Hal lainnya yang digugat adalah ketentuan mengenai kompetisi pengusahaan tenaga listrik. Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon atas hal itu. Secara eksplisit MK berpendapat bahwa paradigma kompetisi bertentangan dengan konstitusi.

Akibat dibatalkannya ketentuan mengenai sistem unbundling dan kompetisi dalam pengusahaan tenaga listrik, MK pun menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Sebab, meski hanya beberapa pasal yang dibatalkan,MK memandang bahwa seluruh paradigma UU Ketenagalistrikan mendasarkan pada dua hal tersebut. Dengan demikian, seluruh paradigma UU tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Lima tahun setelah putusan MK, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan disetujui oleh DPR. Di dalam UU ini tak lagi dikenal sistem unbundling, alias usaha penyediaan tenaga listrik pun tak lagi dipisahkan. Selain itu, BUMN diberi prioritas pertama (first right of refusal) untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.

Hanya saja, dalam UU Ketenagalistrikan ini sistem tarif listrik yang diberlakukan bersifat regulated. Artinya, tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Dalam Peraturan Menteri ESDM No.31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara ketentuan mengenai hal ini diatur lebih lanjut.

UU Ketenagalistrikan memberlakukan tarif yang berbeda bagi pelanggan yang tidak mendapat subsidi. Mereka dikenakan tarif yang berubah-ubah setiap bulannya. Perubahan itu mengikuti fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), nilai tukar rupiah dan besaran inflasi. Ada 12 jenis pelanggan yang diberlakukan tarif penyesuaian setiap bulan. Mereka adalah para pelanggan yang menggunakan tegangan menengah dan tinggi, baik kategori rumah tangga, bisnis, kantor pemerintah, maupun penerangan jalan umum.(Rifki Arsilan)

BACA JUGA: