JAKARTA - Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti, Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa mengusut perkara tindak pidana pencucian uang mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang terjadi sebelum 2010. KPK hanya bisa melakukan penyitaan terhadap harta Djoko yang diperoleh setelah 2010.

"Kalau KPK mau menyita yang di bawah tahun 2010 ya harus dicari tindak pidana di bawah tahun itu dan apa saja yang dicuci. Kalau saya KPK saya akan cari tahu sendiri," kata Andi, saksi ahli yang meringankan terdakwa Djoko, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (30/7/2013).
 
Namun, jaksa KMS Roni mempertanyakan kapasitas Andi sebagai ahli pencucian uang.
 
"Ahli ini ahli pidana atau pencucian uang? Soalnya lebih banyak menjelaskan pencucian uang," kata Roni.
 
"Pencucian uang itu termasuk pidana," balas Andi.
 
"Apakah ahli pernah menerbitkan buku pencucian uang?" tanya Roni lagi.
 
"Belum, tapi saya sering membuat makalah," tegas Andi.
 
Menurut Andi, dia pernah ikut rapat dalam penyusunan UU Pencucian Uang. Namun dari sekian banyak rapat penyusunan itu, Andi hanya ikut sekali.
 
Andi mengakui ahli pencucian uang di Indonesia hanya satu, Yenti Garnasih. "Tapi sayalah promotornya," tandasnya.
 
Judul Disertasi
Nama Andi tercantum sebagai salah satu pengajar di Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selain itu, Andi adalah Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana Golongan IVe di Universitas Trisakti.
 
Andi mendapatkan gelar Meester in de Rechten, Fakultas Hukum Hasanuddin, pada Maret 1962. Pendidikan S-3 juga diselesaikan di Unhas pada 1983 dengan disertasi berjudul Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagai Sarana Pembangunan. Pidato pengukuhan sebagai guru besar berjudul Reformasi Penegakan Hukum dibacakan pada 23 Juli 1998.
 
Andi pernah mendapatkan pendidikan tambahan di dalam bidang antara lain Evidence Law Course, Stanford University, USA; Environmental Law Enforcement Course, Belanda; dan Narcotics Law Enforcement Training Course, Bangkok.
 
Andi juga memimpin Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
 
Riwayat pekerjaan Andi, sebagai Pegawai Negeri di Kejaksaan RI pada 1 Mei 1954-1 Juli 1993. Sempat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Manado 1962-1964 hingga menjabat staf ahli jaksa agung pada 1992.
 
Bisnis Djoko
Perkembangan persidangan Djoko yang lain adalah, pada 1992 Djoko diketahui menitipkan modal sebesar Rp100 juta untuk bisnis jual beli tanah di Bogor, Jawa Barat. Lima tahun kemudian, modal tersebut berbiak menjadi Rp 3,5 miliar.
 
Keuntungan dari bisnis jual beli tanah ini disampaikan Dading Saifudin yang dihadirkan sebagai saksi meringankan untuk Djoko. Di dalam persidangan, Dading mengaku pernah mendapat pinjaman modal Rp100 juta yang diberikan melalui kakak Djoko bernama Sukarno pada April 1992.
 
"Saya diundang ke rumah Pak Karno, di situ ternyata saya diserahkan uang 100 juta. Dipinjamkan uang, uangnya uang Pak Djoko," ujar Dading.
 
Modal ini dipinjamkan, setelah Dading dikenalkan dan bertemu dengan Djoko pada Maret 1992. "Saya ngobrol sama beliau (Pak Djoko) masalah pembebasan tanah. Aturannya setiap saya jual tanah, laporan ke Pak Sukarno," kata Dading.
 
Sepuluh hari kemudian, Dading. yang mengantongi duit pinjaman Djoko sebesar Rp100 juta langsung menggunakannya untuk membeli tanah seluas 3 hektare. "Minggu kedua, saya jual dengan harga Rp 6 ribu per meter," ujarnya.
 
Dari pembelian pertama, Dading mengantongi keuntungan Rp60 juta. Keuntungan itu digunakan Dading untuk kembali membeli tanah seluas 4 hektare. "Keuntungan ada 80 juta. (Keuntungan) buat saya, saya makan, yang (keuntungan) Pak Karno dibelikan tanah lagi," jelasnya.
 
Perputaran uang dari bisnis ini terus berlanjut. Hingga bulan Maret 1994, Sukarno dan Djoko memiliki tanah seluas 25 hektare. "Terakhir saya setor ke Pak Karno Rp1,525 miliar sudah termasuk modal selama 2 tahun lebih. Jadi keuntungannya Rp1,425 miliar," tuturnya.
 
Bisnis ini kemudian berlanjut di tahun berikutnya. Kali ini Dading meminjam duit Rp 1 miliar pada 23 Maret 1995. "Saya pinjam Rp1 miliar dari Pak Karno dan Pak Djoko untuk beli tanah di Sumur Batu," jelasnya.
 
Dengan modal itu, Dading memperoleh tanah seluas 4 hektare. Tanah ini dijual pada tahun 1997 dengan harga per meter Rp 4 ribu. Dari penjualan ini diperoleh keuntungan Rp3 miliar.
 
"Keuntungan ke Pak Djoko berapa dikasih?" tanya penasihat hukum Djoko, Nasrullah. "Rp2,1 miliar," ujarnya.
 
Djoko Susilo didakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp32 miliar dan memperkaya orang lain atau korporasi dari proyek pengadaan Simulator SIM pada tahun 2011. Akibat perbuatannya, keuangan negara dirugikan Rp144,984 miliar. Selain pidana korupsi, Djoko juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. (dtc/*/GN-01)
 
 

BACA JUGA: