UU Dibentuk untuk Menilai Perbuatan Bukan Menilai Niat
JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan dalam hubungan dengan definisi kalimat ´yang bertentangan dengan kewajibanya´ dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah tidak berhubungan langsung dengan tugas dan kewajiban seorang bupati.
"Kalau seorang bupati itu ingin maju lagi sebagai incumbent dalam pemilihan kepala daerah berikutnya maka ada ketentuan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang 32 tahun 2004," kata Yusril saat menjadi saksi ahli pada persidangan kasus suap Bupati Buol, Amran Batalipu dengan tersangka Siti Hartati Murdaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/1).
Yusril juga menjelaskan ketika seorang incumbent maju atau akan maju lagi dalam pemilihan kepala daerah berikutnya, harus dijelaskan mengenai posisinya sebagai calon atau bakal calon. Hal ini berkaitan dengan kegiatan penghimpuna dana untuk kepentingan pilkada dengan dirinya sendiri sebagai calon.
Jika terjadi suatu pelanggaran dalam kaitan dengan penghimpunan dana dana untuk pilkada, Yusril menyatakan sangat tergantung dari sudut pandang. "Dia incumbent berhak menghimpun sumbangan, baik dari pribadi pribadi maupun dari perusahaan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 84 UU 32 tahun 2004 tentang Batas Sumbangan yang dibenarkan dimiliki seorang seorang calon bupati, tanpa kualifikasi, apakah ia itu adalah calon baru atau incumbent. UU dibentuk hanya untuk menilai suatu perbuatan bukan menilai nawaitunya," ujar Yusril.
- FOTO: Anak Buah Hartati Murdaya Diadili
- Kembalikan Tanah Ulayat Warga Buol yang Dirampas
- Amran Batalipu Tuding KPK Tak Beretika
- Terdakwa Amran Batalipu Akan Bacakan Pleidoi
- Kubu Hartati Minta Majelis Hakim Kabulkan Lima Permintaan
- Sidang Pledoi Amran Batalipu Ditunda
- Hartati Murdaya Akui Beri Uang untuk Kegiatan Sosial