Jakarta - Klaim pemerintah bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Tembakau sudah final dan menunggu persetujuan Presiden dinilai oleh Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) sebagai pernyataan sepihak.

“Itu tidak benar. Masih banyak pasal krusial yang belum disepakati. Saat ini kami masih menunggu jawaban pemerintah atas surat keberatan kami,” kata Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) di Jakarta, Rabu (2/5).

Tergabung dalam MPKKI antara lain Gappri, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Laskar Kretek, Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (SP-RTMM), Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI).

Lintas kementerian
Pada pertengahan April silam, Menko Perekonomian Hatta Rajasa usai pertemuan lintas kementerian di Kementerian Kesehatan (19/4) menyatakan bahwa draft RPP Tembakau sudah final, tinggal dibawa ke rapat kabinet. MPKKI menolak klaim tersebut, karena sejauh ini usulan stake holders industri rokok kretek nasional dan masyarakat tembakau banyak yang belum diakomodir.

Beberapa pasal yang masih dipersoalkan antara lain peringatan gambar bahaya merokok ukuran 40% dari luas bungkus dengan lima varian gambar setiap merek, larangan pemberian bahan tambahan pada kandungan rokok sebagai ciri khas kretek, larangan iklan rokok, larangan sponsor acara, dan kegiatan corporate social responsibility (CSR).

“Penerapan gambar sebetulnya tidak sesuai dengan hak berekspresi produk legal. Amerika saja membatalkan rencana tersebut tahun 2011. Kalau Pemerintah memaksakan namanya semena-mena,” lanjut Ismanu.

Terorisme ekonomi
Kalangan Dewan menilai pemaksaan RPP merupakan bentuk terorisme ekonomi. Ketika negara memaksakan regulasi padahal masyarakat belum dapat menerima.

Untuk kasus industri rokok, ibaratnya air susu dibalas dengan air tuba. Industri rokok memiliki sumbangan ekonomi yang luar biasa dari zaman VOC sampai sekarang,” kata anggota Komisi VI DPR, Hendrawan Supratikno.

Menanggapi desakan pengesahan RPP, Hendrawan berpendapat sebaiknya RPP ditunda sampai pembahasan UU Pengendalian Tembakau di DPR RI disusun. Saat ini, menurut dia masih di-pending, karena masih dilakukan kajian-kajian akademik dari berbagai sisi.

“Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebuah peraturan bisa direvisi oleh UU yang baru. Jadi, jangan sampai RPP itu kelak jadi mubazir,” jelas Hendrawan.

Politisi Golkar sekaligus anggota Masyarakat Bangga Produk Indonesia (MBPI) Indra J Piliang mengatakan bahwa desakan pengesahan RPP merupakan sikap yang tidak adil.

“Masih banyak problem bangsa yang membutuhkan penyelesaian ketimbang soal rokok,” katanya.

Rokok kretek bagi Indra adalah bagian dari cultural heritage. “Membunuh kretek sama dengan membunuh budaya bangsa!” tegas Indra.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnubroto menyinggung beberapa kementerian yang belum membawa aspirasi masyarakat tembakau. Antara lain Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perindusterian, dan  Kementerian Pertanian.

Menurut Wisnu, ada beberapa kementerian yang sampai sekarang belum melakukan audiensi untuk menyerap aspirasi dari masyarakat yang dibidanginya.

“Kalau dikatakan kementerian telah menyetujui draft RPP, menyetujui untuk siapa, karena belum pernah ada audiensi dengan masyarakat yang menjadi kewenangannya,” tambah Wisnu.

Gappri menilai RPP tersebut berpotensi membunuh industri kretek nasional dan masyarakat tembakau. Sebelum RPP ini diberlakukan saja,  kematian industri kretek nasional terus terjadi karena regulasi yang menekan industri ini.

Berdasarkan data Gappri, tahun 2005 jumlah pabrik rokok kretek nasional lebih dari 5.000. Saat ini diperkirakan tinggal 1.000 pabrik.

“Jadi, pemerintah sedang menggali lubang bagi kematian industri kretek nasional. Ini genosida kretek di negeri sendiri” kata Ismanu Soemiran.

BACA JUGA: