JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat dinilai terlalu lamban dalam menyelesaikan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Padahal, pelaksanaan Pemilihan Umum tinggal berjarak sekitar dua tahun lagi. Mengingat banyaknya tahapan pemilu yang harus dilalui, maka UU Pemilu yang akan menjadi pedoman aturan main dalam pelaksanaan pemilu harus segera dituntaskan.

Terkait hal ini, anggota Divisi Kajian Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) Indonesia Adrian Habibi menilai, para anggota dewan harus memusatkan perhatiannya pada pembahasan revisi UU Pemilu. "RUU Pemilu tidak boleh tersandera oleh kepentingan politik atau alasan menyatukan persepsi antar kepentingan partai politik di Senayan," kata Habibi, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (23/4).

KIPP, kata Habibi, juga meminta agar para anggota DPR, khususnya yang telah belajar pemilu di Jerman dan Meksiko, berperan aktif untuk menyelesaikan RUU Pemilu sesegera mungkin. Pansus RUU Pemilu, kata dia, tidak boleh diganggu oleh persoalan DPD, UUMD3 dan/atau agenda reses.

"Sungguh sangat-sangat tidak bijaksana bila masih ada saja waktu yang dikosongkan dalam pembahasan RUU Pemilu atas nama agenda yang menghabiskan uang," tegasnya.

Habibi mengingatkan, apabila RUU Pemilu tidak pasti kapan selesai, maka pembahas yang membuat pembahasan menjadi lama harus menjelaskan dengan detil sampai pasal berapa yang sudah dibahas, kenapa lama membahas dan apa yang menjadi penghambat. "Padahal pansus telah belajar pemilu di Jerman dan Meksiko karena masukan dari pakar dan pegiat pemilu Indonesia belum mampu memuaskan hasrat pembentuk UU," katanya.

KIPP, kata Habibi, juga meminta agar para Ketua Umum Partai Politik wajib memerintahkan anggota DPR yang membahas RUU Pemilu untuk mempercepat pembahasan. Jangan sampai keterlambatan pembahasan nantinya menyulitkan partai politik untuk melakukan pendaftaran sebagai peserta pemilu. Akibatnya, kekisruhan antara calon peserta pemilu dan penyelenggara pemilu terjadi.

"Bila hal ini (masalah partai peserta pemilu) muncul dikemudian hari, maka harus diingat bahwa kejadian tersebut merupakan dampak lambatnya pembahasan RUU Pemilu," ujar Habibi.

KIPP Indonesia juga mengingatkan para pembahas RUU Pemilu bahwa semua organisasi masyarakat sipil yang selama ini fokus memantau pemilu siap mencatat dalam buku harian gerakan atas keterlambatan penyelesaian RUU Pemilu. KIPP Indonesia juga mengingatkan, bila kemudian hari, penyelenggara pemilu kesulitan dalam membahas Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu akibat UU Pemilu yang telah disahkan.

"Maka rakyat indonesia akan mengingatkan bahwa ihwal masalah teknis pemilu bukan semata-mata kesalahan penyelenggara pemilu. Akan tetapi Komisi II DPR Ri memiliki peran terbesar seandainya Pemilu Serentak 2019 menuai banyak masalah," pungkasnya.

Harapan serupa juga disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman. Dia berharap agar Undang-Undang Pemilu segera bisa diselesaikan. Pasalnya, kalau tidak segera diselesaikan akan mengganggu tahapan pelaksanaan pemilihan umum.

Dikatakan oleh Arif, UU pemilu ditargetkan akan selesai tahun lalu yang kemudian direvisi menjadi Februari dan terakhir ditargetkan akan selesai pada 28 April 2017 mendatang. Namun, Arif mempertanyakan apakah target penyelesaian 28 April 2017 tersebut akan bisa diselesaikan mengingat tanggal itu sudah minggu depan. "Kalau tidak bisa diselesaikan, lalu ditargetkan kapan lagi," ujarnya, Sabtu (22/4).

Arif mengatakan, dalam rapat terakhir yang juga dihadiri oleh KPU disebutkan kalau pemungutan suara pemilu akan digelar pada bulan April 2019. Sehingga, kata Arif, kalau UU pemilu tidak segera disahkan maka akan semakin sempit waktu yang dibutuhkan KPU untuk melakukan persiapan.

Lebih jauh, Arif Budiman menuturkan, perubahan atau revisi peraturan KPU pun pihaknya tidak bisa melakukannya sendiri karena ada tahapan-tahapan yang masih harus dilalui seperti masih harus melakukan konsultasi dengan pemerintah dan DPR. "Setelah peraturan KPU jadi pun, kami masih membutuhkan waktu untuk menyosialisasikan aturan tersebut ke penyelenggara dan peserta pemilu," terangnya.

Arif mengkhawatirkan jika tidak ada waktu yang cukup maka akan terlalu berisiko. Ditanya mengenai apakah ada tahapan pelaksanaan pemungutan suara pemilu akan ditunda, Arif menegaskan, kalau hal tersebut tergantung pada penyelesaian undang-undang yang masih digodok di DPR.

BANYAK MASALAH - Sementara itu, pembahasan RUU Pemilu ini di DPR memang sarat dengan masalah. Belum lama, ini para anggota dewan dikritik lantaran nekat tetap melaksanakan kunjungan ke Jerman dan Meksiko untuk studi banding UU Pemilu. Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menerangkan, kunjungan ke Jerman dan ke Meksiko penting dilakukan agar anggota Pansus bisa menilai dan mempelajari langsung sistem Pemilu di kedua negara tersebut. "Tujuan kami ke Jerman, untuk mempelajari dan melihat perbandingan sistem pemilu Jerman dan Indonesia," kata Lukman beberapa waktu lalu.

Kemudian terkait materi UU, ada beberapa pasal yang dinilai sangat krusial dan sarat dengan muatan kepentingan politik yang membuat pembahasan UU Pemilu menjadi berlarut-larut. Salah satunya adalah soal angka ambang batas parlemen (parliament threshold). Parta-partai menengah, seperti Partai Amanat Nasional, cenderung untuk setuju dengan ketentuan pemerintah mematok angka 3,5 persen.

Hanya saja, PAN menambahkan, ketentuan terkait wajibnya partai yang tidak memenuhi ambang batas itu, untuk bergabung dengan partai lain. Dengan demikian, anggota legislatif yang dipilih tidak ada alasan untuk tidak masuk ke parlemen karena alasan partai tidak lolos dalam parlemen threshold. PAN menilai, angka yang ditetapkan tidak boleh memberangus suara masyarakat yang telah memilih anggota legislatif untuk mewakilinya di parlemen. Jika angka PT ditargetkan terlalu tinggi, konsekuensinya akan banyak suara yang hilang karena partai tidak memenuhi syarat PT.

Sebaliknya, partai-partai besar seperti Partai Golkar mengusulkan angka ambang batas 7-10 persen. Angka tersebut jauh melampaui usulan pemerintah yang mematok angka 3,5 persen suara nasional. Terkait angka ini, Fraksi Golkar berpandangan dengan meningkatkan ambang angka batas parlemen maka akan memperkuat sistem presidensil.

Masalah berikut adalah soal penambahan kursi Daerah Pemilihan (Dapil) dalam pemilihan umum legislatif. Selama ini, alokasi kursi Dapil didasarkan hanya pada jumlah penduduk, tanpa mempertimbangkan luas wilayah dan kondisi geografis. Untuk mengakomodir itu, Wakil Ketua Pansus Pemilu Benny K. Harman mengatakan adanya kemungkinan penambahan jumlah 19 kursi DPR dari 560 kursi.

Penambahan ini berdasarkan cakupan luas wilayah serta munculnya daerah pemakaran baru seperti provinsi Kalimantan Utara. "Mau tidak mau harus ada penambahan kursi, oleh karenanya pansus sepakati penambahan 19 kursi," ujar Benny beberapa waktu lalu.

Politisi dari F-Demokrat ini menjelaskan penataan alokasi kursi DPR juga semata untuk mengembalikan hak-hak dapil yang selama ini terkena mutasi ke dapil lain. Menurutnya, per dapil akan dipatok minimal 3 kursi dan maksimal 8 hingga 10 kursi. "Ada juga yang mengusulkan 4-11 tapi kita patok setiap dapil itu minimal 3 kursi. Prinsipnya, dapil-dapil yang selama ini berhak mendapatkan kita kembalikan hak mereka. Sementara, dapil yang selama ini tidak berhak tapi dapat, tidak kita kurangi," jelas Benny.

Lebih lanjut, ia menyampaikan salah satu isu krusial yang tak kalah penting dalam RUU Penyelenggara Pemilu ialah pandangan terkait pencalonan tunggal dalam Pemilihan Presiden. Sebagian Fraksi ingin memberikan ruang adanya pasangan calon tunggal melalui musyawarah mufakat. Di sisi lain, sambungnya, tak sedikit juga Fraksi yang tak menghendaki hal itu. Munculnya Paslon tunggal dinilai menurunkan kualitas demokrasi karena membatasi rakyat dalam memilih pemimpinnya.

"Sejak era reformasi, kita menyerahkan kepada rakyat untuk menentukan dan memilih pemimpin dari sekian calon yang diajukan partai politik. Oleh karena itu, hak rakyat untuk menentukan dan memilih pemimpin, tidak boleh dibatasi partai politik dengan cara hanya mengajukan satu paslon," tandas politisi dapil Nusa Tenggara Timur ini.

KETERWAKILAN PEREMPUAN - Salah satu isu krusial lainnya adalah soal keterwakilan perempuan di parlemen. Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu Hetifah Sjaifudian berharap penguatan keterwakilan perempuan dalam Parlemen hingga 30 persen bisa terakomodir dalam RUU Penyelenggara Pemilu.

Menurut politisi dari F-Golkar itu, belum ada perubahan yang signifikan terkait keterwakilan perempuan di Parlemen, baik di tingkat di pusat, provinsi maupun kabupaten. Meskipun, UU Paket Politik sebelumnya telah mengatur keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislative perempuan sebanyak 30 persen.

Disebutkannya, penerapan zipper system yang mengatur setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan hanya menghasilkan setidaknya 18% anggota parlemen perempuan di tingkat pusat, 16% di provinsi dan 12% dikabupaten kota. "Nah, kalau kita ingin 30% parlemen diisi oleh perempuan, maka harus ada terobosan baru. Kalau tetap seperti sekarang, pasti stagnan," kata Hetifah beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Hetifah menjelaskan diperlukan komitmen bersama untuk menambah representasi perempuan dalam Parlemen. Diantaranya, memberikan kesempatan lebih banyak terhadap pencalonan legislative dengan menggunakan zipper system 1 banding 1, yakni 1 perempuan berbanding 1 laki-laki.

"Memang ini belum dibahas secara formal di dalam Pansus, tetapi kalau kita berkomitmen ingin menambah keterwakilan perempuan, yah partai politik juga harus memberikan kesempatan, bukan hanya untuk menjadi caleg tetapi untuk memenangkan pertarungan. Oleh sebab itu, sistem pemilu juga harus lebih ramah pada perempuan," pungkas politisi dari dapil Kalimantan Timur itu.

Terkait keterwakilan perempuan dari hasil kunjungan ke Meksiko diketahui, di sana, keterwakilan calon perempuan dalam pencalonan legislatif harus berimbang dengan calon pria dengan menggunakan mekanisme zipper system. INE, selaku lembaga penyelenggara pemilu di Meksiko, berhak meng-cancel peserta parpol, jika kesetaraan calon pria dan calon wanita tidak tercapai pada pemilu legislatif. (dtc)

BACA JUGA: