JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas perkara Hadi Poernomo cukup menarik perhatian publik kendati tidak diterima. PK yang diputus Mahkamah Agung ini tidak hanya berisi tidak diterimanya upaya hukum luar biasa yang dilakukan lembaga antirasuah.

Secara formil, penegak hukum seperti KPK memang tidak bisa mengajukan PK. Dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK hanya bisa dilakukan oleh terpidana ataupun ahli waris serta PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang larangan PK atas putusan praperadilan.

"Mengadili, menyatakan permohonan Peninjauan Kembali Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut tidak dapat diterima," begitu bunyi amar putusan PK dari direktori putusan MA yang diperoleh gresnews.com," Kamis (2/2). Putusan ini sendiri diketok pada 16 Juni 2016 oleh hakim agung Salman Luthan, MS. Lumme dan Sri Murwahyuni.

Meskipun PK tersebut tidak dapat diterima, namun dalam pertimbangannya majelis justru menyetujui keberatan yang diajukan KPK. Setidaknya ada 3 poin pada butir 2, 4, dan 5 dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang ditentang MA. Berikut ini poin yang dimaksud :

2. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jis. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin DIK-17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014

4. Menyatakan Penyitaan yang dilakukan Termohon terhadap barang milik Pemohon adalah tidak sah dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon

"Adalah tidak tepat dan keliru, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah melampaui batas wewenangnya," tulis putusan PK tersebut.

Majelis berpendapat, pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah. Sedangkan apa yang dilakukan Haswandi bisa dianggap telah memasuki pokok perkara.

Kemudian putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan KPK sebagai pihak penyidik untuk menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka. Dengan catatan, KPK mempunya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang berkaitan dengan materi perkara.

MA mendasarkan pertimbangannya tersebut dalam Pasal 2 Ayat 3 Peraturan MA nomor 4 tahun 2016 yang menyatakan:

1. Pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

2. Putusan praperadilan yang mengabulkan penetapan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, setelah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang berkaitan dengan materi perkara.

"Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang untuk menghentikan penyidikan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (KPK) terhadap Termohon Peninjauan Kembali (Drs. Hadi Poernomo)," ujar majelis PK.

MINTA MA PERIKSA PN SELATAN - Sementara itu Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengakui jika upaya PK yang dilakukan ini kandas. Meskipun begitu, adanya pertimbangan bahwa putusan tersebut telah melampaui kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadi dasar KPK untuk membuka kembali perkara ini.

Beberapa waktu lalu KPK diketahui memang berencana melakukan gelar perkara (eskpose) ulang atas perkara keberatan pajak Bank BCA yang diduga melibatkan mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Hadi Poernomo. Namun belum diketahui sejauh mana kelanjutan dari gelar perkara tersebut.

"Setelah putusan ini tentu KPK akan libatkan tim yang pernah melakukan penyidikan terhadap perkara tersebut. Agar kita bisa tentukan apa tindakan berikutnya yang dapat dilakukan secara hukum," kata Febri saat dikonfirmasi gresnews.com, Kamis (2/2).

Salah satu tim yang menangani perkara ini adalah Jaksa Yudi Kristiana. Namun saat ini ia sudah kembali ke Korps Adhyaksa dengan jabatan ketika itu adalah Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI di Jakarta.

Meskipun begitu sendiri Febri sendiri mengakui jika putusan MA atas PK yang diajukan lembaganya terbilang aneh. Sebab, di satu sisi MA menolak PK yang diajukan, tetapi disisi lain MA justru mengamini jika putusan praperadilan yang dipimpin Haswandi tersebut banyak kejanggalan.

"Karena meskipun di pertimbangan putusan dikatakan Hakim Praperadilan PN Jaksel tidak berwenang menghentikan penyidikan, namun amar putusan justru menyatakan PK yang diajukan KPK tidak dapat diterima," terang Febri.

Karena itu KPK meminta Mahkamah Agung (MA) memeriksa PN Jaksel soal pembatalan status tersangka Hadi Poernomo. Sebab dalam putusan PK di kasus Hadi Poernomo disebutkan putusan PN Jaksel itu bisa dikualifikasikan melanggar Pasal 21 UU Tipikor.

"Bagian Pengawasan MA juga perlu memeriksa lebih lanjut pertimbangan yang muncul dalam putusan PK tersebut. Karena selain dikatakan melebihi wewenang, juga dikaitkan dengan pasal 21 UU Tipikor," kata Febri.

Dalam putusan yang dibacakan pada Mei 2015, PN Jaksel selain mencabut status tersangka Hadi, juga menyatakan segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Hadi Poernomo, tidak sah. (dtc)

BACA JUGA: