JAKARTA, GRESNEWS.COM - Belum lagi habis ingatan publik akan kasus kekerasan dan penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara. Pengusutan kasus kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan itupun belum juga tuntas. Kini, publik kembali dikejutkan oleh jatuhnya korban tewas akibat kegiatan orientasi kemahasiswaan di lingkungan kampus.

Kali ini menimpa mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dimana tiga orang mahasiswanya dikabarkan meninggal dunia setelah mengikuti pendidikan dasar Mapala Unisi UII di lereng Gunung Lawu. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengaku prihatin dengan terjadinya beberapa aksi kekerasan di lingkungan pendidikan dalam beberapa waktu terakhir.

Lembaga pendidikan, menurut dia, sudah seharusnya jauh dari aksi-aksi berbau kekerasan. "Pendidikan yang diperuntukkan bagi para siswa itu hendaknya memiliki dan mengandung rasa kemanusiaan," kata Semendawai, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (25/1).

Terkait aksi-aksi kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, Semendawai minta penanganan kasusnya harus dilakukan secara sungguh-sungguh. "Sungguh-sungguh dalam arti kasus itu tidak hanya diselesaikan secara kekeluargaan saja, melainkan dibutuhkan penegakan hukum sehingga ke depan tidak lagi terjadi," ujarnya.

Semendawai mengimbau kepada semua pihak terkait, khususnya di lingkungan lembaga pendidikan dimaksud, untuk mampu bertanggung jawab dan lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Masih kata Semendawai, kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan seperti terus berulang.

"Namun, yang menarik dan menjadi pertanyaan, sudah berapa banyak dari pelaku kekerasan tersebut yang dimintai pertanggungjawaban, apalagi sampai dihukum?" ujarnya.

Kondisi seperti ini lebih disebabkan karena penanganan kasus-kasus kekerasan di lingkungan dunia pendidikan kerap diselesaikan secara kekeluargaan tanpa mengedepankan penegakan hukum. Kasus yang terjadi baik di STIP Jakarta Utara maupun di UII Yogyakarta, menurut dia, harus menjadi momen untuk menghentikan segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan.

Kepada pengelola lembaga pendidikan, termasuk para siswa, dituntut lebih peduli dan berani melaporkan kepada penegak hukum jika mengetahui adanya aksi kekerasan. "Jika ada korban atau saksi yang mengetahui adanya aksi kekerasan yang terancam atau memerlukan layanan dari LPSK, dapat mengajukan permohonan," tutur dia.

Seperti diketahui, sejumlah tiga orang mahasiswa UII yaitu Muhammad Fadli (19), Syaits Asyam (19), dan Ilham Nurfadmi Listia Adi (20), meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan pendidikan dasar Mapala Unisi UII di lereng Gunung Lawu. Diduga terjadi aksi kekerasan kepada ketiganya karena di sekujur tubuhnya ditemukan bekas luka dan memar.

Selain itu, ada juga para peserta yang dirawar di rumah sakit. Saat ini ada 10 peserta yang dirawat di Jogja International Hospital (JIH). "Saat ini sedang melakukan penanganan kesehatan 34 mahasiswa peserta pendidikan dasar TGC yang telah dimulai sejak Selasa, 24 Januari 2017. Hingga rilis ini diturunkan, 10 orang dinyatakan untuk dirawat inap dan yang lain rawat jalan," ujar salah seorang anggota Tim Crisis Center UII Muzayin Nazaruddin, Rabu (25/1).

Muzayin menyatakan pihaknya tidak bisa menyampaikan identitas dan kondisi detail. Tim medis dari JIH disebut akan menyampaikannya secara terpisah. Muzayin melanjutkan, UII terus berkoordinasi intensif dengan orang tua masing-masing mahasiswa yang menjadi peserta TGC.

UII juga memfasilitasi orang tua yang akan datang ke Yogyakarta untuk mendampingi putra-putrinya yang dirawat di rumah sakit maupun tidak. "Jika Bapak Ibu yang di luar kota dan ingin ke Yogyakarta untuk melihat kondisi putera puterinya akan kami fasilitasi," kata Muzayin.

TAHAP PENYELIDIKAN - Kasus dugaan kekerasan yang menimbukan korban tewas dan luka-luka ini sendiri sudah ditangani pihak kepolisian. Kepolisian turun tangan karena ada laporan dari keluarga dua korban tewas. "Dari tindak lanjut laporan ini, Polres Karanganyar membentuk tim khusus untuk melakukan penyeldikan," ujar Kapolres Karanganyar AKBP Ade Safri Simanjuntak, Rabu (25/1).

Ade mengatakan, agenda Diklatsar dilakukan hingga hari Minggu (22/1). Namun agenda ini tak diteruskan pada hari Jumat (20), karena salah seorang peserta, Muhammad Fadli (19) harus dibawa ke Puskesmas Tawang Mangu. "Dan selanjutnya dirujuk ke RSUD karanganyar dan meninggal dunia dalam perjalanan," sambung Ade.

Setelah itu pihak panitia menurut Ade memutuskan untuk menyelesaikan Diksarnya dan kembali ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta pada Sabtu (21/1), peserta atas nama Syaits Asyam (19) masuk ke RS Bethesda, Yogyakarta kemudian dirujuk ke RS Sardjito dan dinyatakan meniggal dunia.

"Nah dari korban yang kedua inilah kemudian pihak orangtua atau keluarga korban melaporkan kasusnya ke Polres Karanganyar karena diduga ada tindak kekerasan yang diterima oleh almarhum Syaith Asyam dengan indikator adanya temuan beberapa luka pada sekujur tubuh korban," ujarnya.

Polisi langsung menindaklanjuti laporan tersebut dengan membentuk tim khusus untuk melakukan penyelidikan. Penyelidik telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di tempat kejadian baik di kawasan camp maupun di kawasan lokasi praktik mountenering.

"Kita menemukan beberapa barang bukti yang diduga terkait dengan tindak pidana atau peristiwa yang dilaporkan," tuturnya.

Beberapa barang itu yaitu yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana selama Diksar seperti tali, beberapa ranting pohon dan lainnya. Penyidik juga menyita barang-barang atau pakaian yang dibawa korban selama mengikuti Diksar.

"Terus pada Hari Selasa (24/1) dinihari pukul 00.30 WIB, meninggal kembali satu orang mahasiswa UII atas nama Ilham Nurfadmi Listia Adi (20). Itu dilaporkan oleh pihak kelurga karena diindikasi ada dugaan kekerasan yang dialami korban kareran ada beberapa lukia yang ditemukan," ujarnya.

Keluarga Ilham melaporkan kejadian itu ke Polda DIY. Menurut Ade, kemungkinan besar akan dilimpahkan ke Polres Karanganyar karena lokasi kejadian berada di Karanganyar.

Terkait kasus ini, Anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Dadang Rusdiana, mengatakan perlu ada evaluasi terhadap kegiatan kampus. "Tentu kita prihatin atas meninggalnya tiga mahasiswa UII itu. Tentu ini harus menjadi evaluasi," ujar Dadang, Rabu (25/1).

Dadang menambahkan perlu ada pengawasan dari pihak kampus meski Mapala merupakan kegiatan di luar kampus dan di luar kurikulum. Politikus Hanura itu meminta pihak kampus menerapkan aturan supaya peristiwa tersebut tidak terulang.

"Tapi tentu bahwa kita prihatin dan meminta kepada kampus pengawasan terhadap organisasi intrakampus. Kita berharap kampus mana pun harus jeli melakukan pengawasan dan pengendalian harus dilakukan sehingga tidak terulang," ungkapnya.

Pihaknya juga akan meminta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengeluarkan peraturan untuk pembinaan organisasi di kampus.

"Ya tentu Kemenristekdikti harus mengeluarkan peraturan yang tentu dikeluarkan nanti memberikan rambu-rambu untuk pembinaan organisasi-organisasi intrakurikuler karena ada intra maupun ekstra kampus kegiatannya di luar kampus, tapi anggotanya berasal dari mahasiswa," pungkas dia.

LARANG KEKERASAN DI KAMPUS - Selain penyelidikan oleh polisi, pihak Kemenristekdikti juga melakukan penyelidikan serupa. Menristekdikti M Nasir menegaskan, tidak boleh ada kekerasan di kampus.

"Semua kegiatan kekerasan di dalam kampus harus ditindak secara hukum. Oleh karena itu, informasi yang saya dapat itu lagi penyelidikan kasus ini ke Yogya, melalui koordinator perguruan tinggi swasta Yogya dan rektor UII," ujar Nasir di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/1).

Nasir meminta untuk dilakukan visum untuk memastikan adanya dugaan kekerasan. Dia menegaskan telah melarang tindakan kekerasan di lingkungan kampus. "Penelusuran tersebut karena terjadi meninggal apakah meyakinkan terjadinya kekerasan saya minta divisum," ucap Nasir.

"Tindakan visum harus dilakukan untuk memastikan tindak kekerasan karena kami sudah mengeluarkan rekomendasi tidak boleh ada kekerasan di dalam kampus khususnya dalam kegiatan kemahasiswaan baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Apapun terjadi kekerasan di dalam kampus kami akan melarang," sambungnya.

Nasir menegaskan ada sanksi hukum jika terbukti ada tindakan kekerasan di lingkungan kampus. "Sanksi hukum berjalan karena sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Aturannya jelas," tegas dia.

Nasir juga akan memberikan sanksi pada pihak universitas. Namun dia masih akan mengkajinya setelah menunggu hasil penyelidikan.

"Pasti akan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Nanti tingkat kesalahannya seperti apa kita cek dulu. Ini kan angkatan 2015 kalau saya mengambil bentuk logikanya biasanya terjadi di angkatan baru 2016-lah katakan. Ini 2015 apakah terjadi kekerasan kami sangsi belum tahu, informasi yang jelas pasang surut. Kita perlu klarifikasi dulu," beber dia.

Dia mengatakan pemanggilan kepada pihak universitas akan dilakukan oleh Kopertis. Nanti dia juga akan meminta klarifikasi langsung saat kunjungannya ke Yogya nanti.

"Kopertis nanti tugasnya karena wilayah di Yogya. Nanti saya tgl 30 ada agenda di Yogya sekalian saya panggil," paparnya.

Sementara itu, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mahfud MD menyatakan sangat terpukul atas peristiwa tragis tewasnya 3 mahasiswa UII dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala UII di Gunung Lawu. Mantan Ketua MK ini mengenal Mapala UII sejak 1978.

"Saya sedih dan terpukul atas meninggalnya tiga mahasiswa UII yang ikut pendidikan dan latihan dasar Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UII. Saya mengenal Mapala UII selama 38 tahun, sejak masuk ke Fakultas Hukum UII tahun 1978," terang Mahfud.

Menurut Mahfud, Mapala UII merupakan organisasi yang santun. Dia menjelaskan belum pernah mendengar ada kekerasan di Mapala UII.

"Mapala UII dikenal sebagai unit kegiatan mahasiswa yang paling santun, mandiri, dan tinggi komitmen kemanusiaannya. Tak pernah ada cerita dan berita kekerasan di Mapala UII, ceritanya selalu manis penuh kenangan indah," ujar Mahfud.

Mahfud mengaku kaget atas kematian 3 mahasiswa UII tersebut. Seperti diketahui, total peserta diksar ada 37 mahasiswa dari berbagai fakultas di UII. Sebanyak 34 peserta laki-laki dan 3 orang perempuan.

"Tim SAR Mapala UII bukan hanya dikenal di Yogya, tetapi masuk ke daerah-daerah bencana alam, termasuk banjir-banjir di Jakarta. Tapi sungguh mengagetkan, sekarang tindak kekerasan fisik yang menghilangkan 3 nyawa justru terjadi di Mapala UII," cetus Mahfud. (dtc)

BACA JUGA: