JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada tanggal 17 Oktober 2017 lalu, Presiden Joko Widodo telah menandatangi sebuah regulasi baru terkait restitusi korban tindak pidana khususnya terkait anak korban. Peraturan Pemerintah dengan Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana (PP Restitusi Anak Korban) memiliki muatan 23 Pasal.

Regulasi ini dimandatkan berdasarkan ketentuan Pasal 71D Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. PP ini merupakan 1 dari 5 Peraturan Pemerintah yang harus dibuat oleh Pemerintah dalam pelaksanaan UU Perlindungan Anak, setelah sebelumnya Pemerintah baru mengesahkan 1 PP dibawah UU Perlindungan Anak, yaitu PP No 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak. Aturan ini akan melengkapi  mekanisme ganti rugi dan restitusi baik di KUHAP dan UU TPPO, UU PKDRT dan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Terkait terbitnya PP Restitusi Anak Korban, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, mendukung langkah-langkah pemerintah dalam menyusun legislasi yang memperkuat hak-hak korban tindak pidana. "Diharapkan regulasi ini akan menutup celah kosong pelaksanaan restitusi atau ganti kerugian bagi korban tindak pidana anak yang dibebankan kepada pelaku," kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (25/10).

Dalam PP ini, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi mencakup (a). Anak yang berhadapan dengan hukum; (b). Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (c). Anak yang menjadi korban pornografi; (d). Anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan; (e). Anak korban kekerasan fisik dan (f) Anak korban kejahatan seksual.

Muatan Restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 3) berupa: (a). ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; (b). ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau (c). penggantian biaya perawatan  dan/atau psikologis. "Pemberian restitusi tersebut, selain sebagai penggantian biaya yang dikeluarkan juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku," terang Maidina.

Dalam PP ini, restitusi dapat diajukan oleh orang tua atau wali anak yang menjadi korban; atau ahli waris anak yang menjadi korban; atau orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris anak yang menjadi korban, permohonan juga dapat diajukan oleh lembaga. Permohonan restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan.

Dalam PP itu juga diatur, permohonan restitusi kepada pengadilan yang diajukan sebelum putusan pengadilan dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap penyidikan; ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan Restitusi juga dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Maidina mengakatan, ICJR menilai, salah satu kelebihan PP ini adalah dapat mendorong partisipasi aparat penegak hukum (penyidik dan penuntut) untuk mendorong terlaksananya restitusi bagi korban. Dalam Pasal 9 dan Pasal 14 diatur ketentuan bahwa penyidik dan penuntut umum dapat memberitahukan tentang hak mengajukan restitusi kepada korban, walaupun semestinya aturannya harus mewajibkan penyidik dan penuntut umum untuk memberitahukan hak ini kepada korban.

"PP ini juga mengatur tentang teknis pelaksanaan restitusi yang dilakukan oleh jaksa. ICJR memandang bahwa hal ini merupakan satu langkah maju," tegas Maidina.

Selama ini umumnya, aparat penegak hukum tidak terlalu mendorong pelaksanaan restitusi, kecuali dalam hal restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Butuh dorongan yang kuat untuk meningkatkan minat aparat penegak hukum dalam memfasilitasi restitusi korban. Disamping itu PP ini juga memberikan mandat yang kuat  kepada Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membantu menilai kerugian yang dimohonkan (Pasal 13 dan Pasal 17). Mandat ini harus dilaksanakan LPSK secara maksimal tanpa syarat.

Meski begitu, kata Maidina, ICJR juga memberikan beberapa catatan atas PP tersebut. Pertama, syarat administratif bagi permohonan restitusi anak korban cukup memberikan beban baru bagi korban atau keluarga korban.  "ICJR melihat berbagai syarat administrasi yang seharusnya tidak dibebankan kepada korban, hal tersebut seharusnya difasilitasi oleh aparat penegak hukum," ujarnya.

Dalam PP ini pada Pasal 7 diatur bahwa Pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat: identitas pemohon; identitas pelaku; uraian tentang peristiwa pidana yang dialami; uraian kerugian yang diderita; dan besaran atau  jumlah restitusi. Permohonan restitusi juga harus melampirkan: fotokopi identitas anak yang menjadi korban pidana yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang; bukti kerugian yang sah; fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa orang tua, wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.

"Jika dilihat, syarat-syarat tersebut dapat dikatakan terlalu banyak dan menyulitkan korban tindak pidana dalam hal ini anak dan, atau orang tua. Syarat-syarat tersebut akan menjadi beban ganda korban untuk mengajukan permohonan restitusi," kata Maidina.

Misalnya syarat: identitas pelaku, uraian tentang peristiwa pidana yang dialami. "Syarat-syarat ini seharusnya difasilitasi dan disediakan oleh aparat penegak hukum dan LPSK untuk menjamin dapat terlaksananya restitusi tersebut," ujarnya.

Kedua, dalam praktik saat ini, tidak ada jaminan bahwa restitusi bisa segera dibayarkan kepada korban. Yang biasanya terjadi adalah bahwa pelaku tidak mau membayar dan tidak sanggup membayar.  

Dalam monitoring ICJR, sangat jarang pelaku mau membayarkan restitusi, kecuali dalam kasus Tindak pidana Perdaggangan Orang (TPPO, hal ini dikarenakan ada mekanisme pemaksa yang dapat diberikan kepada pelaku, misalnya perampasan aset. "Sedangkan dalam restitusi di luar TPPO, umumnya pelaku yang tidak mau membayar hanya dikenakan pidana subsider penjara 2-3 bulan," papar Maidina.

Dengan adanya sutuasi ini maka pada implementasinya, korban tetap tidak dapat memperoleh ganti kerugian secara finansial. Sayangnya, PP ini pun masih belum memberikan solusi atas situasi tersebut.

Harusnya pengaturan dalam PP ini memuat tentang solusi apabila restitusi tersebut tidak dibayarkan, apakah dengan mekanisme perampasan aset ataupun mekanisme kompensasi seperti yang diatur dalam PP No 44 tahun 2008. "ICJR mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya fokus kepada restitusi namun harus berupaya untuk memberlakukan kompensasi bagi korban, karena mekanisme restitusi sangat bergantung pada pelaku, pengadilan dan sangat sulit diakses oleh korban, dalam hal ini korban anak," urainya.

Oleh karena itu, ICJR merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah sesegerakan mungkin mengefektifkan sosialisasi PP ini kepada korban, keluarga korban ke seluruh wilayah Indonesia agar akses atas restitusi ini dapat diketahui oleh korban dan keluarga korban yang saat ini kasusnya sedang disidik kepolisian ataupun dalam proses penuntutan ataupun kasus yang sudah diputus

"Kedua, mendorong aparat penegak hukum aktif dan responsif dalam mendukung permohonan korban atas hak restitusi dan harus memfasilitasi kebutuhan korban khususnya dalam administrasi permohonan," pungkas Maidina (mag)

BACA JUGA: