JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan keluarnya anggaran belanja negara yang telah digunakan oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Anggaran tersebut dipakai untuk melakukan studi banding ke Kanada dan Perancis. Pada akhirnya, studi banding itu tidak berdampak pada kemajuan pembahasan RUU PKS yang telah tiga tahun mangkrak di Komisi VIII DPR. Malahan, pembentukan Tim Khusus untuk Pembahasan RUU PKS yang direncanakan pada 25 September 2019, dibatalkan secara mendadak.

“Anggaran belanja negara untuk studi banding tersebut menjadi sia-sia. Harusnya bisa digunakan untuk layanan visum gratis bagi korban kekerasan seksual, yang hingga saat ini belum mampu disediakan negara,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu melalui keterangan tertulis yang diperoleh Gresnews.com, Minggu (29/9).

Azriana mengingatkan Komisi VIII DPR sudah ditunjuk oleh Sidang Paripurna DPR untuk membahas RUU PKS sejak 2017. RUU PKS merupakan inisiatif DPR. Drafnya dirancang dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam hal ini pendamping korban Forum Pengada Layanan (FPL), komunitas korban, kelompok akademisi dan agama, bersama dengan Komnas Perempuan.

“Hampir tiga tahun RUU belum dibahas, bukan saja menunjukkan buruknya kinerja Komisi VIII Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi juga memperlihatkan rendahnya kepedulian terhadap ribuan korban kekerasan seksual di Indonesia,” dikatakan Azriana.

RUU PKS sebagaimana naskah RUU yang dihasilkan Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatur sembilan jenis kekerasan seksual yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), memuat hukum acara yang dapat membantu penegak hukum membuktikan kekerasan seksual, melindungi hak-hak korban dan keluarganya serta mengatur pencegahan kekerasan seksual. “Penundaan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan semakin menjauhkan korban dari pemenuhan rasa keadilan,” kata Azriana.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan, sejak RUU ini ditetapkan sebagai insiatif DPR (pada 2016) hingga Desember 2018 tercatat sebanyak 16.943 perempuan telah menjadi korban kekerasan seksual. Data statistik kriminal Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 juga memperlihatkan rata-rata setiap tahunnya 5.327 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia. Forum Pengada Layanan (FPL) menemukan, hanya 40% kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke polisi, dan dari 40% tersebut hanya 10% yang berlanjut ke pengadilan. Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP, baik aturan materiil maupun formil, menjadi penyebab utama 90% dari kasus kekerasan seksual tidak dapat diteruskan ke pengadilan. (G-1)

 

BACA JUGA: