JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual gagal masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2014-2019. Meski gagal, Komisi Nasional Perempuan mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat setidaknya bisa memasukkan substansi dari isu tersebut ke dalam RUU lainnya seperti RUU KUHP-KUHAP dan RUU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Komisioner Komnas Perempuan Masruchah menyatakan kekecewaannya karena RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak masuk ke dalam prolegnas. Hilangnya RUU ini secara tidak langsung menghilangkan kesempatan negara melalui eksekutif, yudikatif, dan legislatif untuk bertanggungjawab secara konstitusional memberikan pemenuhan terhadap hak atas rasa aman dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

"Negara harus hadir untuk membuat payung hukum guna melindungi warga negara khususnya perempuan dari kekerasan seksual," ujar Masruchah dalam diskusi soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR, Jakarta, Jumat (13/2).

Data Komnas Perempuan mengungkapkan, dari tahun 1998 hingga 2010 terdapat 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan. Dari angka tersebut terdapat sebanyak 93.960 kasus atau 22 persennya adalah kasus kekerasan seksual. Lalu pada 2010 hingga 2014 sebanyak 82 persen kekerasan seksual bahkan terjadi pada anak-anak.

"Banyaknya kasus kekerasan seksual tersebut ternyata diiringi dengan belum tersedianya ketentuan hukum untuk pemidanaannya," kata Masruchah.

Ia melanjutkan, dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kekerasan seksual seringkali hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan persoalan moralitas saja. Padahal dampak bagi korban kekerasan seksual bisa membuat seseorang merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi.

Karena itu, dengan tidak masuknya RUU ini ke dalam prolegnas, Komnas Perempuan akan mendesak agar persoalan kekerasan seksual bisa masuk ke dalam revisi RUU KUHP-KUHAP.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Martin Hutabarat menyatakan konsisten dengan sikapnya bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang harus diberantas. Ia pun mengusulkan agar dalam revisi RUU KUHAP-KUHP dimasukkan poin untuk memperberat ancaman hukuman pelaku kekerasan seksual.

"Di KUHP kita sekarang ancaman terhadap kekerasan seksual dan perkosaan hanya 12 tahun. Kita perberat minimal di atas 15 tahun. Bisa lebih berat dari itu," ujar Martin saat ditemui di DPR pada kesempatan berbeda.

Terkait hal ini, anggota Komisi IX DPR yang juga politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka menyesalkan RUU ini tidak masuk ke dalam prolegnas. Padahal RUU ini sempat masuk ke dalam prolegnas 2009-2014. Meski tidak masuk ke dalam prolegnas 2014-2019, ia tetap melihat RUU ini penting melihat angka kekerasan seksual yang terjadi baik di ranah privat, publik, dan politik.

Sebagai anggota IX, kata Rieke, dia akan memperjuangkan poin RUU ini dalam revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. "Mulai dari perekrutan dan penampungan TKI rentan mendapatkan kekerasan seksual," ujar Rieke pada kesempatan terpisah usai diskusi di DPR.

Sebelumnya, DPR telah menetapkan 159 RUU untuk masuk ke dalam prolegnas 2014-2019. Untuk 2015 ada 37 RUU prioritas. Tapi dari semua RUU yang masuk ke dalam prolegnas, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual gagal masuk daftar.

BACA JUGA: