JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menggelar sidang perdana kasus suap di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atas terdakwa mantan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX Amran HI Mustary. Amran dijerat dua dakwaan sekaligus yaitu Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan dalam dua pasal tersebut juga disematkan Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 65 KUHPidana.

Dakwaan berlapis ini tidak terlepas dari peran Amran sebagai perantara, pengepul, sekaligus distributor suap dalam kasus tersebut. Amran pun menerima uang cukup besar dengan total mencapai puluhan miliar rupiah. Namun uang tersebut tidak dinikmatinya sendiri tetapi juga diberikan kepada pihak-pihak lain.

Dalam dakwaan pertama, Amran disebut sebagai orang yang memfasilitasi terjadinya pemberian suap kepada para anggota Komisi V seperti Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro serta Musa Zainuddin. Dari keempat nama tersebut hanya Musa Zainuddin yang saat ini masih bebas dari jeratan hukum.

Damayanti telah divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp8,1 miliar. Kemudian Budi Supriyanto divonis tahun 5 tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp4 miliar. Sedangkan Andi Taufan Tiro saat ini prosesnya masih dalam tahap penyidikan.

Selain menjadi perantara suap antara pihak pengusaha yakni Abdul Khoir, Soe Kok Seng, Hong Artha John Alfred serta beberapa pengusaha lain, Amran juga menerima sejumlah uang dari hasil "kerjanya" sebagai "broker". Pertama Rp455 juta dari Abdul Khoir.

Kronologi pemberian uang yaitu pada sekitar tanggal 6-9 Agustus 2015, anggota Komisi V DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Maluku yang diikuti antara lain oleh Damayanti, Fary Djemi Francis, Michael Watimena, Yudi Widiana dan Mohamad Toha dalam rangka menyerap usulan program aspirasi di Maluku.

Dalam kunjungan kerja tersebut Amran memperkenalkan Abdul Khoir kepada anggota Komisi V DPR RI yaitu Mohamad Toha. Selain itu, Amran dan Khoir menyampaikan kepada Toha agar program aspirasinya disalurkan dalam bentuk proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku atau Maluku Utara.

Pada saat kunjungan kerja tersebut, Amran meminta Khoir untuk memberikan uang sejumlah Rp455 juta yang akan diberikan sebagai uang saku anggota Komisi V DPR RI dengan maksud agar para legislator yang mengikuti kunjungan kerja bersedia menyalurkan program aspirasinya.

"Selanjutnya Khoir memberikan uang sejumlah Rp455 juta kepada terdakwa di Hotel Swiss Bell Ambon," kata Jaksa KPK Iskandar Marwnto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (28/12).

Kemudian ada juga penerimaan Rp2,6 miliar terkait pengusulan program aspirasi anggota Komisi V DPR RI di wilayah BPJN IX Maluku dan Maluku Utara. Amran pada saat bertemu dengan Khoir, Iqbal Tamher dan Quraish Lutfi menyampaikan bahwa untuk pemberian fee dari para rekanan kepada anggota Komisi V DPR RI sebagai kebijakan "satu pintu" yang artinya harus melalui atau atas sepengetahuan dirinya.

"Amran selanjutnya meminta fee untuk dirinya sejumlah Rp3 miliar kepada Abdul Khoir kemudian Abdul Khoir menghubungi So Kok Seng alias Aseng, Henock Setiawan alias Rino, Charles Fransz alias Carlos dan Hong Arta John Alfred menyampaikan permintaan Terdakwa," ujar Jaksa Iskandar.

Selanjutnya para pengusaha tersebut mengirimkan uang kepada Khoir melalui rekening milik staf pribadinya yakni Erwantoro dengan seluruhnya berjumlah Rp2,6 miliar. Pada 22 Agustus 2015 bertempat di rumah Imran S. Djumadil di Citra Gran Blok Brentwood RC 1 Nomor 10 Cibubur Jawa Barat, Khoir menyerahkan uang kepada Amran melalui Imran sejumlah Rp2,6 miliar yang sudah ditukar dalam mata uang Dollar Amerika Serikat.

SETORAN - Untuk dakwaan kedua, Amran dianggap telah menerima hadiah atau janji berkaitan dengan jabatannya sebagai Kepala BPJN IX di Maluku dan Maluku Utara yang mempunyai kewenangan untuk mengendalikan, mengkoordinasikan, mengawasi, mengatur dan merencanakan pelaksanaan pengadaan barang/jasa serta menetapkan pemenang pelaksana proyek-proyek yang berada di wilayah BPJN IX Maluku dan Maluku Utara.

Amran meminta setoran kepada para pengusaha dengan janji memberikan proyek jalan di wilayah yang dipimpinnya. Mereka pun menuruti keinginan Amran dengan harapan memperoleh pekerjaan yang mayoritas berasal dari dana aspirasi para anggota DPR RI khususnya Komisi V.

Khoir misalnya memberikan Rp6,625 miliar dan Sin$202,816 ribu. Kemudian Rp3,6 miliar dari Hong Arta John Alfred selaku Direktur PT Sharleen Raya (JECO Group), Rp1,5 miliar dari Djony Los selaku Direktur PT Labrosco Yal, Rp500 juta dari Rizal selaku Direktur PT Reza Multi Sarana, Rp1 miliar dari Budi Liem selaku Direktur PT Intimkara.

Selanjutnya ada juga Rp1,1 miliar dari Hasanudin selaku Direktur PT Aibinabi, uang sejumlah Rp400 juta dari Anfiqurahman selaku Direktur CV Gema Gamahera, Rp1,2 miliar dari H. Hadiruddin selaku Direktur PT Hijrah Nusatama.

Penerimaan uang ini terjadi setelah Amran dilantik menjadi Ketua BPJN IX pada 10 Juli 2015. Untuk menduduki jabatan tersebut, ternyata ia membutuhkan dana. Sayangnya Jaksa tidak memaparkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh Amran.

"Untuk memenuhi keutuhan tersebut, terdakwa kemudian terdakwa menghubungi teman-temannya yakni Imran S Djumadil, Zulkhairi Muchar alias Heri, maupun beberapa stafnya yakni Qurais Lutfi dan Abdul Hamid Payapo," terang Jaksa lainnya Tri Anggoro Mukti.

Selain untuk memenuhi kebutuhan operasional dan suksesi dirinya menjadi Ketua BPJN IX, uang yang diminta Amran juga digunakan untuk memberi Tunjangan Hari Raya (THR) Natal dan Tahun Baru kepada pejabat Kementerian PUPR Pusat. Selain itu uang tersebut juga untuk meMbantu dana kampanye Pemilihan Kepala Daerah.

Pada 22 Desember 2015, Amran menerima laporan dari Abdul Hamid Payapo alias Mito jika sebagan uang yang diminta telah terkumpul dalam bentuk dollar Amerika sebesar US$303,124 ribu dan juga Rp874,553 juta. Amran meminta Hamid untuk menyerahkan uang tersebut di basement dekat Kantin Kementerian PUPR Pusat yang ada di Jakarta.

Dari jumlah tersebut, Rp750 juta diberikan kepada para Kasubdit Dirjen Bina Marga sebagai THR Natal. "Sedangkan uang Rp873,25 juta oleh Terdakwa (Amran) diberikan kepada Mito dengan perintah agar diberikan kepada para Kasubdit Dirjen Bina Marga sebagai THR dengan jumlah Rp750 juta dengan tulisan Balai IX," jelas Jaksa Tri.

Kemudian pada 11 Januari 2016 Imran S Djumadil menghubungi Abdul Khoir memberitahukan adanya pemberian uang dari Hong Arta John Alfred sejumlah Rp100 juta, sehingga untuk pengiriman uang ini menjadi total Rp200 juta karena sebelumnya Imran telah mengirim terlebih dahulu dengan jumlah yang sama yaitu Rp100 juta.

Khoir pun meminta Imran agar uang tersebut dikirimkan ke rekening Erwantoro yang selama ini memang menjadi penampungan uang suap. Uang Rp200 juta itu kemudian diambil dan diserahkan kepada Amran bersamaan uang Rp1,1 miliar yang telah diminta sebelumnya di Kantin Kementerian PUPR di Jakarta.

"Pada saat menerima uang tersebut terdakwa meminta uang Rp200 juta diserahkan kepada Imran S Djumadil untuk diserahkan kepada Bupati Halmahera Utara," pungkas Jaksa Tri.

 

BACA JUGA: