JAKARTA, GRENEWS.COM - Kokok ayam belum juga terdengar, sejumlah polisi dari Ditreskrimum Polda Jateng mengepung rumah jurnalis Tabloid Panjimas, Ranu Muda Adi Nugroho Kamis dini hari 22/11, sekitar pkl 00.10 WIB. Mata dua anak Ranu yang masih balita menjadi saksi, trauma muncul pada putri sulungnya yang masih 5 tahun ketika melihat sang ayah digelandang polisi dengan mata dilakban dan tangan terborgol diangkut ke Mapolda Jawa Tengah di Semarang.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Arfi Bambani menyebut tahun 2016 memiliki catatan buruk bagi dunia jurnalistik. Pasalnya, pada tahun inilah jumlah insiden kekerasan terhadap jurnalis mencapai angka paling tinggi selama 10 tahun terakhir.

"Terjadi kenaikan jumlah insiden kekerasan terhadap jurnalis, dan ini tertinggi selama satu dekade. Angka tertinggi sebelumnya adalah 77 kasus, terjadi tahun 2006, sementara tahun ini ada 78 kasus tindak kekerasan," kata Arfi saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (24/12).

Arfi menjelaskan, tindak kekerasan yang dia maksud terbagi pada dua hal. Pertama, tindak kekerasan yang dilakukan terhadap para jurnalis saat melakukan aktivitas jurnalistik. Kedua, tindak kekerasan terhadap media.

"Kasus kekerasan yang terjadi pada media, misalnya, kantor medianya dibakar atau diserang massa. Sedang kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, maksudnya, kekerasan itu terjadi berkaitan dengan aktivitas jurnalistik," paparnya.

Arfi juga menyebut bahwa tren pelaku tindak kekerasan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. "Kebanyakan dilakukan warga, kemudian yang dari negara kebanyakan dilakukan polisi," katanya.

Sebagai informasi, kekerasan yang dilakukan oleh warga jumlahnya adalah 26 kasus, polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus, lalu TNI, orang tidak dikenal, aparat pemerintah daerah (Satpol PP), masing-masing 6 kasus.

Dari seluruh kasus tersebut, ada 3 kasus yang secara khusus menjadi perhatian AJI, yakni kasus pengeroyokan aparat TNI AU terhadap enam jurnalis Medan, yaitu Array Argus (Harian Tribun Medan), Teddy Akbari (Harian Sumut Pos), Fajar Siddik (Medanbagus.com), Prayugo Utomo (Menaranews.com), Andri Safrin (MNC News) serta DE (Matatelinga.com). DE bahkan menjadi jurnalis perempuan satu-satunya yang mengalami pelecehan seksual.

Selain itu, kasus lain yang turut jadi perhatian AJI adalah pengeroyokan jurnalis NetTV Sonny Misdananto di Madiun oleh TNI AD, serta perampasan alat liputan oleh TNI AU dalam peristiwa kecelakaan pesawat latih di Malang. Ketiga kasus tersebut menjadi perhatian bukan hanya karena salah satunya menyebabkan jurnalis meninggal, tapi juga karena tingkat kekerasannya lebih tinggi dibanding 75 kasus kekerasan lainnya.

AJI juga menyoroti kasus-kasus yang dilakukan polisi. Sebagai aparat yang paling dominan melakukan tindak kekerasan, oknum-oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis tak seorang pun pernah diseret ke meja hijau. "Perlu dicatat, sejak 2006 kami melakukan pencatatan, tidak pernah ada pelaku dari kalangan polisi yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis diproses secara hukum. Kalaupun diproses, paling diproses secara internal di Propam. Tidak sampai ke pengadilan," kata Arfi.

Menurutnya, hal berbeda bila tindakan kekerasan dilakukan oknum TNI. Beberapa di antara mereka kemudian diproses secara hukum di Pengadilan Militer, bahkan dengan landasan Undang-Undang Pers. "Walaupun hukumannya, katakanlah mungkin tidak memuaskan, tapi bagi kami ini merupakan satu langkah maju dari kubu TNI," kata Arfi.

Selain menyoroti kasus kekerasan yang melibatkan fisik, Arfi juga menyebut di tahun ini muncul juga suatu fenomena di mana masyarakat tidak percaya kepada media mainstream lantaran menjamurnya media abal-abal yang digandrungi masyarakat, khususnya netizen.

"Media-media abal-abal itu membuat masyarakat tidak bisa membedakan produk jurnalistik dengan berita sampah dan hoax. Menurut AJI, itu juga harus menjadi perhatian kita semua," katanya.

Arfi menjelaskan, ketidakpercayaan terhadap media muncul karena ada anggapan bahwa media tidak bersikap proporsional dalam memberi informasi kepada masyarakat. Dan hal itu dipicu oleh media abal-abal dan media sosial.

"Mungkin ada sekelompok masyarakat yang menilai bahwa beberapa media bekerja tidak sesuai standar jurnalistik. Tapi sejauh ini, misalnya pada kasus 411 atau 212, kami tidak menemukan bukti atas laporan seperti itu. Media-media yang disudutkan sekelompok massa bekerja profesional dan tidak melanggar etika," kata Arfi.
MALPRAKTEK DAN REVITALISASI PENEGAK HUKUM - Sementara itu, ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Iman Nugroho menilai, meski secara kuantitas tindak kekerasan terhadap jurnalis banyak dilakukan polisi, namun secara kualitas tingkat kekerasan yang dilakukan TNI lebih parah ketimbang polisi.

Karena itulah Iman berpendapat, salah satu hal yang bisa ditempuh untuk meredam kekerasan TNI terhadap jurnalis adalah dengan meminimalisasi keterlibatan TNI di dalam kegiatan-kegiatan sipil. Menurutnya, saat TNI turut diturunkan untuk menjaga ketertiban, biasanya saat terjadi aksi massa seperti demonstrasi, hal itu sudah menyalahi tugas TNI sendiri.

"Kalau ada demo di wilayah NKRI, itu tugasnya polisi untuk mengamankan. Kalau TNI dilibatkan sebagai penjaga, ini kan gak bener," kata Iman kepada gresnews.com.

Iman menjelaskan, polisi memang paling banyak melakukan tindak kekerasan kepada jurnalis. Namun demikian, menurutnya, polisi memiliki kapasitas dan skill sendiri untuk mengatasi aksi massa. Karena itulah saat beragam aksi massa diserahkan kepada TNI, maka yang terjadi adalah malpraktek, yang bahkan membuat jurnalis kehilangan nyawa.

"Jadi kita berharap kalau ada masalah di kalangan sipil diselesaikan oleh instansi sipil juga. Jangan militer. Kemarin yang menjadi korban adalah korban dari keterlibatan militer," kata Iman.

Sebagai catatan, dalam kasus pengeroyokan jurnalis di Medan, hal itu bermula dari demonstrasi yang dilakukan warga sipil untuk menuntut penyelesaian atas hak-haknya. Aparat yang merespon aksi tersebut, membuat demonstrasi berakhir dengan bentrokan. Dan akibatnya, jurnalis yang saat itu ada di lokasi untuk merekam semua kejadian, justru menjadi sasaran kemarahan anggota TNI.

Hal yang sama terjadi dalam kasus Madiun dan Malang, Jawa Timur, bahkan Palu Sulawesi Tengah dan DKI Jakarta. Di Madiun, Jurnalis Net TV yang mengabadikan momen penertiban lalu lintas (yang disertai dengan pukulan dan tendangan) oleh aparat TNI pada masyarakat sipil setempat, justru malah dikeroyok aparat.

Demikian juga di Malang. Peristiwa kecelakaan pesawat latih TNI di lingkungan sipil, membuat TNI merasa perlu melakukan penjagaan. Namun sayangnya, penjagaan itu malah berbuah perampasan alat-alat kerja jurnalis yang tengah meliput peristiwa itu.

Sementara itu, staf ahli Presiden Ifdhal Kasim menilai, demi memberi perlindungan atau hak atas rasa aman terhadap jurnalis, hal yang mesti dilakukan adalah merevitalisasi penegak hukum, utamanya kepolisian. "Mereka harus dikuatkan kemampuannya dalam memberikan perlindungan hak atas rasa aman," kata Ifdhal kepada gresnews.com, Minggu (25/11).

Menurut Ifdhal, tindakan kekerasan yang terjadi tidak disebabkan karena sistem atau kebijakan negara, namun karena faktor sumber daya manusia. "Saya menyorot dari sisi kemampuan. Sebagai aparat keamanan mereka tidak menjalankan fungsinya secara maksimal," tambah Ifdhal.

Ifdhal menyebut itulah salah satu hal yang ingin dibenahi Presiden Joko Widodo. Bukan hanya untuk kepentingan jurnalis, namun untuk kepentingan semua elemen bangsa secara menyeluruh. "Kan presiden ingin negara hadir. Negara hadir itu artinya lembaga penegak hukumnya mesti lebih ke depan," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: