JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perselisihan ketenagakerjaan kembali  terjadi di perusahaan media. Kali ini antara karyawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Karyawan Femina Group (FKK-FG) dengan perusahaan media terkemuka nasional Femina Group,  yang saat ini sedang menyelenggarakan acara berstandar internasional, Jakarta Fashion Week.

Terkait masalah ini, Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin mengatakan, perselisihan ketenagakerjaan ini terjadi sejak awal tahun 2016. Para Pekerja Media menerima gaji secara dicicil 50% (setiap tanggal 25) dan 50% (setiap tanggal 15) setiap bulannya. "Namun, pada bulan Juni-Juli 2016, karyawan hanya mendapatkan gaji 50% saja, dan pembayaran cicilan sisanya  baru dilakukan pertengahan tahun 2017 sebesar 25%, dan kemudian 12,5 %, dan masih tersisa 12.5% hingga saat ini," kata Nawawi, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (25/10).

Nawawi memaparkan, menghadapi hari raya Idul Fitri tahun 2017, perusahaan hanya membayarkan 70% Tunjangan Hari Raya. "Sejak saat itu, skema pembayaran gaji pada karyawan bisa hanya 10%+10%+20% atau 40% saja, 40%+40% atau 80%, atau skema persentase lain, namun tak pernah mencapai 100% lagi," ujarnya.

Hal ini, kata dia, berdampak besar pada masalah domestik karyawan, seperti pemenuhan kebutuhan harian, biaya sekolah anak, cicilan, dan sebagainya. "Bahkan hanya karena ingin berangkat kerja, salah satu pekerja media ada yang meminjam atau menjual barang-barang di rumah demi mendapatkan ongkos berangkat ke kantor," tegas Nawawi.

Dalam diskusi antara karyawan dengan  pihak manajemen, karyawan berulangkali menanyakan solusi seperti pensiun dini atau kapan perusahaan bisa menyelesaikan masalah ini. Namun belum ada jawaban pasti, tegas, dan konkret. Setelah permasalahan ini berjalan selama satu tahun lebih, FKK-FG1 akhirnya meminta bantuan hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers agar bisa memfasilitasi aspirasi karyawan kepada pihak perusahaan.

Hingga saat ini, telah terjadi tiga kali pertemuan bipartit antara karyawan yang difasilitasi LBH Pers sebagai kuasa hukum dengan manajemen perusahaan. "Namun hingga saat ini belum ada solusi terbaik, meskipun pada prinsipnya karyawan hanya meminta pemenuhan hak normatifnya sesuai UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003," terang Nawawi.

Terkait peristiwa ini, LBH Pers, kata Nawawi, memiliki beberapa penilaian. Pertama, soal kemampuan pembayaran upah oleh Femina Group yang dijadikan alasan dalam melakukan penyicilan pembayaran upah, tidak tepat. "Pasalnya, argumen ketidakmampuan perusahaan membayar upah sangat ironi jika dibandingkan dengan acara besar dan mengeluarkan uang banyak seperti acara Jakarta Fashion Week yang diadakan pada minggu ini," ujarnya.

Kedua, pemotongan upah atau upah tidak dibayarkan secara full adalah salah satu bentuk pelanggaran perjanjian kerja, sehingga para pekerja tidak bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pasal 88 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan: "Setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".

Karena itu, kata Nawawi, pihak LBH Pers mendesak agar Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakhiri melakukan tindakan tegas  sesuai dengan kewenangannya terhadap perusahaan yang tidak melakukan kewajibannya membayar gaji karyawan secara penuh, tanpa alasan hukum yang sah. "Kami juga mendesak pimpinan Femina Group untuk menyelesaikan tunggakan-tunggakan upah para pekerja media yang belum dibayarkan secara tunai dan sekaligus," pungkasnya. (mag)

BACA JUGA: