JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marthen Dira Tome mengajukan praperadilan untuk yang kedua kalinya. Dua kali pula Marthen Dira Tome ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Nusa Tenggara Timur.

KPK menetapkan kembali Marthen sebagai tersangka pada kasus yang sama untuk kedua kalinya. Dalam putusan praperadilan pertama, hakim Nursyam membatalkan sprindik penetapan tersangka Marthen dan memerintahkan penyidik (KPK) untuk menghentikan penyidikan terhadap Marthen.

Ketua tim kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Rasamala Aritonang mengungkapkan, tidak ada batasan bagi KPK untuk menetapkan kembali tersangka termasuk Marthen. KPK telah melakukan penyelidikan dan penyidikan baru dengan memperbaiki beberapa poin yang diminta hakim pada putusan praperadilan pertama.

"Ada banyak, ada 60 surat yang diajukan ada saksi yang sebelumnya belum pernah diperiksa sebagai bukti baru. Kasusnya masih yang lama tapi buktinya yang baru sesuai perintah praperadilan," kata Rasamala Aritonang kepada gresnews.com, di PN Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Jumat (16/12).

Menurut Rasamala, KPK masih berwenang untuk menetapkan tersangka meskipun perkara tersebut pernah dimenangkan oleh Marthen. Dia merujuk pada putusan MK nomor 21 dan peraturan MA nomor 4 tahun 2016 bahwa penyidikan ulang bisa dilakukan jika praperadilan telah memutuakan terutama terkait aspel formilnya. "Bisa dilakukan penyidikan ulang dengan melengkapi apa yang dipersoalkan di praperadilan," tukas Rasamala.

Awalnya, Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marthen Dira Tome diperiksa terkait dugaan korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT tahun 2007 silam yang diduga merugikan negara sebesar Rp77 miliar.

Sebelum diambil alih oleh KPK, kasus Marthen sebelumnya pernah ditangani Kejaksaan Negeri dan Kajati NTT namun Marthen akhirnya lolos karena Kejati pun tak bisa menemukan bukti keterlibatan Marthen dalam kasus tersebut. Lalu KPK mengambilalih kasus Bupati Sabu Raijua mengacu pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6, 7, 8 dan 9.

Namun pada penetapan tersangka pertama kalinya, Marthen berhasil lolos lantaran Pengadian Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Marthen. Permohonan praperadilan ini merupakan perlawanan Marthen kedua kalinya karena disemat sebagai tersangka kedua kalinya oleh KPK.

PERSOALKAN PENETAPAN TERSANGKA - Sementara itu, penasihat hukum Marthen Dira Tome, Yohanis Rihi, menyatakan, tindakan KPK menetapkan kliennya sebagai tersangka kedua kalinya terlalu dipaksakan. Terlebih KPK masih menggunakan berkas penyidikan yang lama saat menetapkan tersangka kedua kalinya sedangkan putusan praperadilan sebelumnya memerintahkan agar berkas yang digunakan penyidikan diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi.

Selain itu, dia melihat ada kejanggalan dalam proses penetapan tersebut terutama soal penetapan terhadap Marthen. Dia menganggap penetapan tersangka tidak sah.

"Mereka menetapkan tersangka dulu, baru memerintahkan mengembalikan berkas ke Kejati agar diberhentikan. Ini pelanggaran hukum," kata Yohanis Rihi saat gresnews.com, Sabtu (17/12).

Menurut Rihi, penetapan tersangka oleh KPK tidak prosedur. KPK menetapkan tersangka pada 31 Oktober 2016, sementara berkas penyidikan yang lama baru diserahkan kepada Kejati 10 Desember 2016. Dengan begitu, menurut Rihi penetapan tersebut masih menggunakan berkas penyidikan yang lama tanpa menyerahkan ke Kejati sebelumnya sebagaimana putusan praperadilan.

Marthen Dira Tome mengaku kaget dengan tindakan KPK yang telah menetapkannya sebagai tersangka kedua kalinya pada November lalu. Marthen kemudian ditangkap pada Senin 15 November 2016) malam, di bilangan Jakarta Barat. Padahal, menurutnya, penyidik KPK belum pernah memeriksa dirinya sebelum dinaikkan statusnya sebagai tersangka.

"Mereka melakukan pelanggaran hukum dalam hal penetapan tersangka terhadap klien kami," ujar Yohanis.

BACA JUGA: