JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati sempat lolos  dari status tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui kemenangannya di Praperadilan. Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome kembali ditetapkan tersangka kasus korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) senilai Rp77 miliar oleh KPK. Tak hanya itu,  KPK juga akhirnya menangkapnya karena dugaan menghalang-halangi proses penyelidikan.
 
Terkait kabar ditangkapnya Marthen oleh tim penyidik KPK saat berada di kawasan Tamansari, Jakarta Barat itu. Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, saat dikonfirmasi gresnews.com,  membenarkan informasi tersebut.

"(Marthen) ditangkap malam ini di daerah Tamansari, Jakarta Barat dan langsung dibawa ke KPK untuk diperiksa," kata Yuyuk saat dihubungi, Selasa (15/11) dini hari.

Penangkapan terhadap Marthen ini memang menjadi pertanyaan tersendiri, pasalnya ia tidak terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena telah berstatus sebagai tersangka. Selain itu, Marthen juga tidak masuk dalam jadwal pemanggilan pemeriksaan tim penyidik sehingga tidak bisa begitu saja dilakukan jemput paksa.

Dalam proses penyidikan, KPK selalu melayangkan surat panggilan terlebih dahulu sebanyak tiga kali. Jika dalam waktu tiga kali pemanggilan yang bersangkutan tidak hadir tanpa keterangan, maka baru akan dilakukan upaya jemput paksa.

Dari informasi yang diperoleh, penangkapan terhadap Marthen tidak sembarangan tetapi menggunakan Surat Perintah Penangkapan (Sprinkap). Hal ini menjadi pertanyaan sejumlah pihak,  mengapa Marthen dianggap begitu penting untuk dilakukan penangkapan. "Belum dapet informasinya," ujar Yuyuk saat ditanya mengenai hal ini.

Namun gresnews.com memperoleh informasi alasan penangkapan yang dilakukan terhadap Marthen karena ia dianggap menghalangi proses penyidikan yang dilakukan KPK terhadap dirinya. Sejumlah saksi tidak menghadiri pemeriksaan yang diduga merupakan perintah dari Marthen.

KPK memang beberapa hari belakangan terus melengkapi berkas perkara Marthen. Sejumlah saksi dipanggil untuk pemeriksaan yang dilakukan dengan meminjam ruangan Polda Nusa Tenggara Timur (NTT). "Karena menghalangi saksi untuk datang diperiksa di NTT," ujar sumber tersebut.

Penyidik tidak bisa menyertakan secara langsung Pasal 21 UU Tipikor yaitu tentang menghalangi proses penyidikan, alasannya Marthen saat ini sudah dalam status tersangka. Tetapi ada kemungkinan besar sangkaan terhadap Marthen bisa bertambah jika ia benar terbukti menghalangi proses penyidikan KPK.


DUA KALI TERSANGKA - KPK pertama kali menetapkan Marthen sebagai tersangka pada Oktober 2014, tetapi KPK baru melakukan pemeriksaan pada 15 Agustus 2015 atau sekitar 10 bulan setelah menyandang status tersangka. Karena tidak dilakukan penahanan, Marthen pun mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Gugatan ini pun berbuah manis karena Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nursyam mengabulkan gugatan praperadilan Marthen terhadap KPK, Rabu 8 Mei 2016 silam. Dalam putusan itu, hakim meminta KPK sebagai termohon untuk segera mencabut Sprindik Nomor: Sprin.Dik/49/01/10/2014 tanggal 30 Oktober 2014, tentang penetapan tersangka. Menurut Hakim, penetapan tersangka terhadap Marthen tidak sah. Hakim menilai, proses penetapan tersangka melanggar Pasal 8 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK .

KPK tidak menyerah, pada 10 November 2016 lalu kembali mengumumkan status tersangka untuk Marthen. "KPK beberapa hari lalu sudah menetapkan kembali, MDT sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta.

Kasus ini berawal dari laporan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat  Fraksi Demokrat, Anita Yakoba Gah. Anita  melaporkan dugaan korupsi dana PLS senilai Rp77 miliar pada 2007. Kasus ini ditindaklanjuti Kejaksaan Negeri Kupang  setahun kemudian. Namun, Kejari Kupang tidak menemukan bukti dan menutup kasusnya.

Laporan yang diterima Kejari Kupang menyebutkan negara mengalami kerugian mencapai Rp33 miliar. Angka ini lalu bertambah menjadi Rp 59 miliar, tapi kemudian turun lagi menjadi Rp32 miliar. Pada 2011, kasus ini dibuka kembali oleh Kejari Kupang dan lalu kasusnya diambil alih oleh Kejati NTT. Namun penyelidikan yang melakukan Kejati hanya menemukan kerugian negara sebesar Rp4,5 miliar, bahkan kemudian turun lagi menjadi Rp1,5 miliar. Perkara ini pun kemudian di supervisi oleh KPK.

BACA JUGA: