JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan kembali Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur Marthen Dira Tome sebagai tersangka kasus korupsi. Penetapan Marthen ini menjadi menarik karena Marthen sempat lolos saat memenangkan upaya Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Marthen mengikuti jejak mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang lolos di praperadilan setelah gugatannya dikabulkan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun kemudian ditetapkan menjadi tersangka kembali. Tak semua orang bernasib seperti Marthen, karena KPK tidak melakukan langkah yang sama terhadap mantan "pasiennya" yang lain.

Salah satu tersangka KPK yang menang praperadilan dan tidak ditetapkan kembali sebagai tersangka adalah mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo. Ia dijerat lembaga antirasuah dalam perkara keberatan pajak PT Bank Central Asia atau BCA ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mempunyai alasan mengenai adanya dua "perlakuan berbeda" antara kasus Bupati Sabu Raijua dan kasus BCA ini. Menurut Saut, hingga kini kasus keberatan pajak Hadi Purnomo masih terus diusut tim penyidik. Ia mengakui memang penanganan perkara ini berjalan lambat, tetapi hal itu tidak berarti KPK melepas kasus ini begitu saja.

"Semua proses ada waktunya, kalau kita yakin ya bisa cepat, kalau ada pertimbangan lain tentu jadi tidak bisa cepat. Yang penting kasus ini tidak berhenti begitu saja," ujar Saut kepada gresnews.com, Minggu (13/11).

Saut menjelaskan, saat ini pihaknya masih mempelajari kembali perkara ini secara teliti. Dia memastikan, perkara ini tidak akan dihentikan apalagi KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan. "Iya nanti kita lihat dulu, yang pasti kita tidak bisa SP3," pungkasnya.

Terkait kasus Marthen, dia sebelumnya sudah menang di praperadilan ketika pertama kali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi dana pendidikan luar sekolah tahun 2007-2008. "KPK beberapa hari lalu sudah menetapkan kembali, MDT sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (10/11).

Kasus ini berawal dari laporan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Demokrat, Anita Yakoba Gah. Anita  melaporkan dugaan korupsi dana Pendidikan Luar Biasa pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT senilai Rp77 miliar pada 2007. Kasus ini ditindaklanjuti Kejaksaan Negeri Kupang  setahun kemudian. Namun, Kejari Kupang menghentikan kasus ini dengan alasan tidak menemukan bukti.

Pada 2011, kasus ini dibuka kembali Kejari Kupang dan diambil alih oleh Kejati NTT. Kemudian medio Oktober 2014, kasus ini diambil alih KPK untuk ditindaklanjuti yang berujung penetapan tersangka terhadap Marthen. Marthen kemudian mengajukan gugatan praperadilan dan memenangkannya.

Di persidangan, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Nursyam mengabulkan gugatan praperadilan Marthen terhadap KPK, Rabu 8 Mei 2016 silam. Dalam putusan itu, hakim meminta KPK sebagai termohon untuk segera mencabut Sprindik Nomor: Sprin.Dik/49/01/10/2014 tanggal 30 Oktober 2014, tetang penetapan tersangka. Menurut Hakim, penetapan tersangka terhadap Marthen tidak sah. Hakim menilai, KPK melanggar Pasal 8 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK .

Selain Marthen hal yang sama pernah terjadi pada Ilham Arief Sirajuddin yang kembali ditetapkan sebagai tersangka setelah sebelumnya memenangkan gugatan praperadilan. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Ilham terbukti bersalah dan divonis 4 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp150 juta.

Di tingkat banding, hukuman itu diperberat menjadi 6 tahun dan membayar uang pengganti Rp4 miliar. Tetapi pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), hukumannya kembali dipangkas menjadi hanya pidana penjara 4 tahun dan denda Rp175 juta.

UPAYA TIDAK BIASA - KPK memang tidak diam saja ketika Hakim Tunggal Haswandi mengabulkan gugatan Hadi Purnomo dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. KPK mengajukan memori Pengajuan Kembali (PK) ke MA yang mana upaya ini sendiri merupakan langkah yang tak biasa.

Alasannya, dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli waris, dan penegak hukum tidak dapat mengajukan PK. Dan benar saja, upaya hukum ini ditolak MA. Setelah itu kasus ini sendiri lambat laun mulai meredup.

Abraham Samad yang ketika itu masih menjabat sebagai Ketua KPK menjelaskan kronologi kasus ini. Pada 12 Juli 2003, PT BCA TBK mengajukan surat keterangan pajak transaksi non-performance loan sebesar Rp5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Pengasilan (PPh). "Setelah surat itu diterima PPh, dilakukan kajian lebih dalam untuk bisa ambil satu kesimpulan dan hasil pendalaman," kata Samad dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin 21 April 2014.

Kurang lebih 1 tahun kemudian, tepatnya pada 13 Maret 2004, Direktur PPh memberikan surat pengantar risalah keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak yang berisi hasil telaah pengajuan keberatan pajak BCA itu. Hasil telaah itu berupa kesimpulan bahwa permohonan wajib pajak BCA ditolak. Sehari sebelum jatuh tempo kepada BCA pada 15 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak memerintahkan kepada Direktur PPh dalam nota dinas untuk mengubah kesimpulan, yakni agar menerima seluruh keberatan wajib pajak BCA.

"Di situlah peran Dirjen Pajak. Surat ketetapan pajak nihil, yang memutuskan menerima seluruh keberatan wajib pajak (BCA). Sehingga tidak ada waktu bagi Direktorat PPh untuk berikan tanggapan yang berbeda," kata dia.

Selaku Dirjen Pajak, tutur Samad, Hadi mengabaikan adanya fakta materi keberatan wajib pajak yang sama antara BCA dan bank-bank lain. Samad menjelaskan, ada bank lain yang punya permasalahan sama namun ditolak oleh Dirjen Pajak. Akan tetapi dalam permasalahan BCA, keberatannya diterima. "Di sinilah duduk persoalannya. Oleh karena itu KPK temukan fakta dan bukti yang akurat," ujar Samad.

Berdasarkan itu, ucap dia, KPK melakukan forum ekspose atau gelar perkara dengan satuan petugas penyelidik. "Dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan Hadi selaku Dirjen Pajak 2002-2004 dan kawan-kawannya menjadi tersangka," ujar Samad.

BACA JUGA: