JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kuasa Hukum PT Bank Maybank Indonesia Tbk Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa kliennya tidak pernah berupaya mempailitkan PT Meranti Maritime, sekaligus direkturnya, Henry Djuhary. Hal tersebut disampaikan Yusril di kantornya, Ihza & Ihza Law Firms, di bilangan Casablanka, Jakarta Selatan, Kamis (15/12).

"Meranti Maritime dan Henry Djuhary mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) secara sukarela ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan melampirkan proposal perdamaian untuk disetujui oleh para kreditur, yang salah satunya adalah Maybank. Dengan demikian, Maybank Indonesia tidak pernah mengajukan pailit terhadap Meranti Maritime dan Henry Djuhary," kata Yusril.

Yusril menjelaskan, Maybank Indonesia memang menolak proposal perdamaian yang diajukan Meranti Maritime dan Henry Djuhary. Namun, hal tersebut sama sekali tidak diniatkan untuk membuat Meranti Maritime maupun Henry Djuhary pailit. Menurut Yusril, selama proses PKPU Meranti Maritime dan Henry Djuhary sudah diberi kesempatan hingga tujuh kali untuk memperbaiki proposal perdamaiannya. Tapi hal itu tidak digubris hingga batas waktu yang ditentukan Undang-Undang untuk PKPU, yakni 270 hari, dinyatakan habis.

"Maybank Indonesia tidak dapat menyetujui proposal perdamaian tersebut dikarenakan usulan yang ditawarkan PT Meranti Maritime tidak sesuai dengan ketentuan perbankan," katanya.

Menurut Yusril, tawaran PT Meranti kepada Maybank tidak masuk akal. Alasannya, sebagai perusahaan yang bergerak di industri perkapalan, PT Meranti Maritime memilih banting setir ke industri properti demi menutupi utangnya kepada kreditur. Bagi Maybank, hal itu terlalu beresiko. Maybank menilai bahwa PT Meranti belum punya pengalaman apa-apa di bidang bisnis properti.

Apalagi, waktu yang dimintakan PT Meranti untuk membayar utang-utangnya adalah 21 tahun, dengan grace period atau waktu penundaan pembayaran utang di 3 tahun pertama.

"Jadi, Maybank tidak pernah mempailitkan nasabah. Maybank hanya berusaha menyelamatkan hutang piutang nasabah," tambahnya.

Sebagai catatan, pada tanggal 29 Juli 2011 Maybank Indonesia memberikan fasilitas kredit kepada PT. Meranti Maritime dan Henry Djuhary untuk keperluan pembelian kapal dengan nilai pokok kredit sebesar US$ 33.249.999,67. Namun di tengah jalan, kapal-kapal yang sudah dibeli PT Meranti itu malah tidak beroperasi karena memburuknya kondisi pasar. Karena itulah PT Meranti mengalami kesulitan untuk membayar kewajiban kreditnya (kredit macet) seiring menurunnya kondisi keuangan mereka.

Atas hal itu, PT Meranti pun mengajukan PKPU dan proposal perdamaian dengan tawaran bahwa pembayaran utang kepada Maybank Indonesia akan diupayakan dengan mengkonversi salah satu aset PT Meranti di daerah Jakarta Pusat. Aset itu akan dijadikan kawasan perkantoran dan keuntungannya akan digunakan untuk melunasi kredit. Saat ini, aset tersebut masih berupa tanah di kawasan Jalan Blora, Jakarta.

Bagi Maybank, hal itu tidak menguntungkan karena tanah yang hendak dijadikan properti itu sebetulnya merupakan salah satu agunan yang disodorkan PT Meranti kepada mereka. "Jadi PT Meranti ingin membayar utang kepada Maybank dengan agunan yang dulu mereka ajukan," tegas Yusril.

PT Meranti Maritime dan Henry Djuhary dinyatakan pailit setelah dilakukan pemungutan suara (voting) pada Jumat (19/8) lalu. Hasil voting itu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 281 Ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 37/2004 tentang PKPU dan Kepailitan.

Ketua Hakim yang menangani perkara tersebut, yakni Titik Tejaningsih menjelaskan, voting diberikan oleh PT PANN Pembiayaan Maritim dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk selaku pihak kreditur pemegang jaminan (separatis). PT PANN Pembiayaan Maritim mendukung proposal perdamaian PT Meranti, sedang Maybank menolak proposal tersebut.

Menurut majelis hakim, hasil voting itu tidak mewakili paling sedikit 2/4 dari jumlah seluruh tagihan seperti yang disebutkan dalam Pasal 281 ayat 1b UU Kepailitan dan PKPU. Jumlah persentase dukungan yang menolak proposal perdamaian Meranti sebanyak 65%, dan yang mendukung juga besarannya sama. Seharusnya, untuk memenangkan proposal persetujuan Meranti minimal dibutuhkan persentase tagihan kreditur yang mewakili sebesar 66%.

"Sehingga cukup beralasan bagi majelis hakim untuk menetapkan para debitur dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya," ungkap Titiek dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (22/8).

TUDUHAN MEMPAILITKAN - Pada Rabu (19/10) lalu Direktur Utama PT Meranti Maritime Henry Djuhari menyatakan bahwa Maybank telah berupaya mempailitkan pihaknya. Salah satu alasan yang membuat Henry memiliki dugaan demikian adalah karena tim kurator yang menangani perkaranya adalah tim kurator yang juga menangani PT Dhiva Inter Sarana dan Richard Setiawan pada 2015 lalu. Kedua pihak itu juga sama-sama dinyatakan pailit setelah tidak bisa melunasi kreditnya kepada Maybank Indonesia. Kurator tersebut yakni Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi.

"Aneh, di dalam kasus kepailitan Meranti, pengurus yang diusulkan oleh Maybank adalah pengurus yang juga mempailitkan Dhiva, yang notabene merupakan nasabah Maybank sebelumnya," ungkap Henry.

Henry juga menilai bahwa Maybank terus mengulur waktu hingga kemudian proses PKPU berlangsung alot hingga batas waktu maksimal 270 hari. Menurut Henry, hal itu terjadi karena Maybank tidak setuju dengan proposal perdamaian yang dia sodorkan, sedangkan kreditur lain menyetujuinya.

Henry menegaskan, tujuan utama PKPU adalah perdamaian. Jadi, pihak-pihak yang menginginkan PKPU akan berusaha sebaik mungkin mewujudkan perdamaian. "Namun hal ini tidak terjadi dalam kasus PKPU Meranti. Bahkan Maybank yang hanya memiliki suara kurang dari 30 persen dapat mempailitkan Meranti," ujarnya.

Henry pun berspekulasi, apakah tujuan Maybank adalah untuk ‘mempailitkan’ nasabahnya? Jika benar, menurutnya sudah sudah terjadi suatu ketidakadilan dan penyalahgunaan hukum. "PKPU adalah wadah perlindungan hukum kepada debitur untuk menawarkan perdamaian. Bukan menjadikan PKPU sebagai wadah untuk mempailitkan debitur," katanya.

Atas kecurigaan itu pula Henry kemudian melaporkan Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi kepada Polres Jakarta Pusat. Pada 5 Februari 2016, polisi pun menetapkan Ailova Mengko dan Dudi Pramedi sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Henry Djuhari selaku pribadi dan pemilik PT Meranti Maritime dalam proses perkara PKPU PT Meranti Maritime.

Menanggapi hal itu, Kuasa Hukum Ailova Mengko dan Dudi Pramedi, Guntur Fattahillah, menyebut bahwa PT. Meranti Maritime sendiri sebetulnya sudah mengusulkan kepada Pengadilan Niaga untuk mengangkat Syahrial Ridho dan Tommy Siregar sebagai kurator untuk proses PKPU tersebut. Namun demikian, kata Guntur, keduanya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Karena itulah pada Desember 2015, Pengadilan Niaga mengangkat Allova Herling Mengko dan Dudi Pramedi sebagai kurator. (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: