JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung telah menetapkan dua tersangka dalam kasus korupsi restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom (kini PT Smartfren) yang diduga merugikan negara hingga Rp86 miliar. Namun hingga kini Kejaksaan Agung menutup rapat identitas dua tersangkanya. Hal ini berbeda saat kejaksaan menangani kasus lain, dimana tersangkanya diumumkan secara terbuka kepada publik.  Semisal kasus korupsi yang menyeret Dahlan Iskan.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah sebelumnya mengakui telah menetapkan dua tersangka kasus restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran) pajak PT Mobile-8. Namun saat ditanya siapa tersangkanya, Arminsyah justru bungkam. Bahkan soal inisial tersangka pun mantan Kajati Jawa Timur ini tak bersedia menyebutkan.

"‎Iya sudah ada dua tersangka, soal siapa nanti setelah tahap dua (dikasih tahu namanya)," jelas Arminsyah dikonfirmasi saat keluar dari Gedung Bundar, Kamis (3/11).

Penetapan terhadap tersangka kasus dugaan korupsi PT Mobile-8 telah dilakukan sejak pekan lalu. Sejauh informasi yang beredar, dua tersangka itu disebut-sebut merupakan direktur lama PT Mobile 8.

Dalam proses penyidikan kasus ini, penyidik kejaksaan memang telah memeriksa sejumlah saksi. Di antaranya Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi Ellyana Djaja, Komisaris PT. Bhakti Investama Hary Djaja, mantan Direktur Keuangan PT. Mobile 8 Telecom Lucy Suyanto, Mantan Komisaris PT. Mobile 8 Ir. Muhammad Budi Rustanto,  mantan Dirut PT Mobile 8 Widyasmoro Sih Handayanto, Indro Tjahjono selaku Direktur PT. TDM Aset Manajemen dan Pasar Modal, serta Ali Chendra selaku Komisaris PT. TDM Aset Manajemen dan Pasar Modal. Pemilik MNC   Group Hary Tanoe Soedibjo juga telah diperiksa sebagai saksi.

Dari sejumlah nama tersebut, belum diketahui siapa yang kemudian dijadikan tersangka. Armin bersikeras enggan mengungkap nama-nama tersangka. "Nanti jika sudah penuntutan saya sampaikan, ini masih penyidikan," kilah Armin.

Sikap tertutup soal  penanganan kasus korupsi ini pernah dipersoalkan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu. ICW menilai Kejaksaan kurang transparan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Selama ini, Kejaksaan hanya mempublikasikan informasi terkait penanganan kasus hanya melalui angka statistik dalam Laporan Tahunan Kejaksaan. Data yang dipublikasikan tidak bisa menjelaskan perkembangan penanganan masing-masing perkara korupsi.

Bahkan ICW sempat mengajukan permintaan informasi publik pada PPID Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu. Permintaan itu didasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi yang diminta antara lain: Pertama, informasi soal nama kasus, tanggal sprindik, inisial dan jabatan tersangka, kerugian negara, tanggal selesainya proses penyidikan (P21) serta tanggal pelimpahan. Kedua, soal anggaran penanganan kasus korupsi dan realisasinya di masing – masing jenjang institusi Kejaksaan seluruh Indonesia setiap tahun dari tahun 2010.

ICW menilai tiga informasi di atas merupakan informasi publik sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. IC menilai informasi tersebut bukanlah informasi yang dikecualikan menurut undang-undang, karena tidak ada substansi dan bukti hukum penanganan perkara yang harus dibuka oleh penyidik Kepolisian pada publik.

"Kejaksaan Agung harus memberikan informasi itu," kata peneliti ICW Wana Alamsyah.

RUGIKAN KEJAKSAAN - Langkah  Kejaksaan Agung yang merahasiakan identitas dua orang tersangka kasus dugaan korupsi  restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom yang diduga merugikan negara Rp86 miliar ‎dinilai bakal berdampak negatif terhadap citra kejaksaan. Sebab kejaksaan terkesan diskriminatif dalam penanganan korupsi. Di satu sisi tersangka diungkap ke publik, tapi pada kasus lain justru disembunyikan.

"Dampaknya sangat negatif, kejaksaan dinilai diskriminatif karena membedakan orang, padahal di depan hukum orang itu sama, tapi kenapa kasus ini identitas tersangkanya dirahasiakan," ‎kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Kamis (3/11).

Kesan diskriminatif sangat kuat jika penanganan kasus PT Mobile 8 dibandingkan kasus korupsi penjualan aset PWU yang menyeret Dahlan Iskan.  Kejaksaan mengungkap terang kasus yang diduga melibatkan Dahlan Iskan, namun dalam kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom‎ kejaksaan justru tertutup.

"‎Seharusnya kalau sudah menjadi konsumsi publik informasi itu harus transparan, itu kan hak publik untuk mengetahui, ini berkaitan dengan keterbukaan informasi publik," jelasnya.

Disinggung kemungkinan tertutupnya kejaksaan karena perintah Presiden Joko Widodo, Fickar menilai hal itu tidak ada hubungannya dengan transparansi proses hukum di kejaksaan.

Kasus dugaan korupsi ini muncul setelah penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Di mana, dalam kurun waktu tersebut, PT Mobile 8 diduga telah memalsukan bukti transaksi dengan PT Jaya Nusantara hingga mencapai Rp80 miliar.

PT Jaya Nusantara sebenarnya tidak mampu untuk membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile 8. Namun transaksi direkayasa, seolah-olah terjadi transaksi dan jual beli dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.

Temuan transaksi palsu diperkuat juga diungkap dan diakui saksi Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Ellyana Djaja. Ellyana Djaya mengatakan ada traksaksi senilai Rp80 miliar yang merupakan rekayasa seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.

Bulan Desember 2007, PT Mobile-8 Telecom dua kali mentransfer uang, masing-masing sejumlah Rp50 miliar dan Rp30 miliar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.

Setahun kemudian, yakni 2008, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp 114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta menerima barang.

BACA JUGA: