JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) menampik keikutsertaan  PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) dalam program Tax Amnesty membuat penyidikan kasus restitusi (pengembalian kelebihan bayar) pajak PT Mobile-8 bisa dihentikan. Untuk itu penyidikan kasus restitusi pajak akan tetap dilanjutkan dan penetapan tersangka terhadap Hary Djaja dan Anthony Candra tidak bisa dibatalkan.

Hal itu disampaikan Ali Nuruddin pihak kuasa hukum Kejagung saat membacakan jawaban pihak Kejaksaan Agung atas gugatan praperadilan pihak Hary Djaja di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (22/11). Pihak Kejagung membantah dalil pihak Hary Djaja Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) yang menyebut penetapannya sebagai  tersangka,  tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup. Ali juga membantah pernyataan bahwa  tax amnesty yang dibayar PT DNK bisa menghentikan proses penyidikan perkara tersebut.

"Pengikutan tax amnesty tidak menggugurkan penyidikan restitusi pajak," kata Ali saat membacakan jawabannya di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Dengan alasan itu, Kejagung menganggap penyidikan dan penetapan dua tersangka dalam kasus restitusi pajak PT Mobile 8 tetap dilanjutkan. Dalam eksepsinya dia juga meminta agar penyidikan yang sedang dilakukan Kejagung agar tetap dilanjutkan.

Tak hanya itu, Kejagung juga membantah permohonan pemohon yang menyebut penetapan tersangka Hary Djaja dan Anthony Candra, tidak diawali dengan  bukti permulaan yang cukup. Dalam penyidikan, Kejagung bahkan telah memeriksa beberapa saksi dan ahli terkait restitusi pajak PT Mobile 8 sebelum menetapkan Hary Djaja sebagai tersangka.

"Penyidikan masih bisa dilanjutkan. Penetapan tersangka sudah ada keterangan sejumlah saksi seperti, Hidayat Chandra, Umiwati, Dewi Susanti dan beberapa saksi ahli. Artinya dengan bukti permulaan, keterangan saksi dan saksi ahli," kata kuasa hukum Kejaksaan Agung.

MINTA DIHENTIKAN - Sementara itu, penasihat hukum Hary Djaja, Hotman Paris Hutapea menyebut bahwa PT DNK telah membayar uang tebusan melalui tax amnesti. Dengan pembayaran itu, ia menganggap kasus restitusi pajak PT DNK tidak bisa lagi dilakukan penyidikan karena yang menjadi dasar penyidikan adanya transaksi fiktif.

Dasar penyidikan itu, dilakukan dengan adanya pembelian voucher kepada PT DNK. Sementara PT DNK, pada tanggal 27 Oktober 2016 telah mendaftarkan tax amnesty dan telah lunas membayar seluruh tebusannya. Ketika dasar penyidikan Kejagung pada bukti tax amnesty, maka proses penyidikannya otomatis terhenti.

"Dasar penyidikan korupsinya karena adanya dugaan transaksi fiktif voucher, ternyata pembelian voucher itu sudah di tax amnesty berarti dasar penyidikannya sudah tidak ada lagi," dalih Hotman usai persidangan di PN Jakarta Selatan.

Kejagung sebelumnya menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar penetapan Hary Djaja sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Sementara Hotman, merujuk Pasal 20 UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Tax Amnesty sebagai dasar untuk menggugurkan perkara restitusi pajak yang disidik Kejaksaan Agung.

Sesuai ketentuan itu, penyidikan perkara korupsi tidak bisa dilanjutkan ketika perkara yang disangkakan telah diampuni oleh negara melalui tax amnesty. Sehingga lampiran-lampiran yang dijadikan Kejagung sebagai dasar penetapan tersangka harus dikembalikan kepada wajib pajak, atas nama Hary Djaja.

"Tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka dan untuk melanjutkan penyidikan," tukasnya.

Dalam perkara restitusi pajak PT Mobile-8 Kejaksaan Agung telah menetapkan dua tersangka. Mereka adalah Hary Djaja yang merupakan adik ipar pemilik MNC Group  Hary Tanoesoedibjo, selaku Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) dan Anthony Candra, selaku Direktur PT Mobile 8 saat itu.

Kasus dugaan korupsi ini berawal saat tim penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Djaja Nusantara Komunikasi pada periode 2007-2009.  Dalam kurun waktu itu, terjadi rekayasa perdagangan dengan membuat invoice sebagai faktur. Padahal transaksi tersebut tidak pernah terjadi alias fiktif,  pihak Mobil-8 sempat mentransfer sejumlah uang ke PT  DNK dengan dalih untuk pembelian sejumlah voucher, namun tak ada pengiriman barang. Uang justru ditransfer kembali ke PT Mobil-8. Akibatnya perkara ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan negara mengalami kerugian hingga Rp86 miliar.

BACA JUGA: