JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah sempat kalah dalam gugatan Praperadilan, Kejaksaan Agung mulai ancang-ancang untuk menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom. Tim penyidik tengah melengkapi dokumen dan bukti-bukti untuk kembali menyidik kasus ini dari awal.

Dua orang yang bakal kembali dijadikan tersangka yakni Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Hary Djaja dan Anthony Candra selaku mantan Direktur PT Mobile-8. Saat ini Anthony Chandra Kartawiria adalah Direktur PT First Media Tbk, Direktur PT Citra Investama Andalan Terpadu, dan juga Direktur di PT Graha Raya Ekatama Andalan Terpadu.

Status tersangka keduanya ini lepas setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan dua tersangka. "Tinggal menunggu waktu saja, tim jaksa masih kerja," kata ‎Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampdisus) Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/12).

Armin menegaskan dengan diterbitkannya kembali sprindik baru, bukan berarti Kejaksaan Agung tidak menghormati putusan praperadilan. Namun putusan praperadilan belum final. Tim penyidik tidak akan berhenti begitu saja untuk menyidik kasus ini.

Apalagi, kata Armin, dalam penanganan kasus ini penyidik juga sudah mengantongi perhitungan kerugian negara dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp86 miliar. Selain itu ada surat dari Ditjen Pajak yang menyatakan bahwa Kejagung berwenang menyidik kasus ini.

Ditanya soal apakah jaksa akan mempercepat penyidikan, lalu segera melimpahkan ke Pengadilan Tipikor, Armin hanya menjawab akan terus menyidik kasus ini.

"Intinya kita sidik lagi, praperadilan kan belum bahas materi perkara, kan belum final," tegasnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan ‎yang dilayangkan dua tersangka. Dalam putusannya hakim mengatakan penetapan tersangka dan penyidikan tidak sah karena penyidikan kasus ini bukan tindak pidana korupsi melainkan kasus perpajakan. Kejagung dinilai tidak memiliki kewenangan menangani kasus perpajakan.

Hakim dalam pertimbangannya menyatakan, kasus restitusi pajak yang disidik bukan kewenangan pihak Kejaksaan Agung. Sesuai Pasal 44 Undang -Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur soal kewenangan penyidikan. Menurut ketentuan pasal tersebut, ketika terjadi tindak pidana perpajakan maka yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan.

HENTIKAN PENYIDIKAN - Dengan dimenangkannya gugatan praperadilan, Kuasa hukum Hary Djaja dan Antony, Hotman Paris Hutapea  meminta Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan dan tidak lagi menerbitkan sprindik baru. Sebab sudah jelas, kasus ini bukan pidana korupsi tapi pidana pajak.

Jadi, kata Hotman, yang berwenang menyidik adalah Penyidik dari Ditjen Pajak. "Ini  bukan kewenangan Kejagung karena di UU pajak jelas disebutkan yang berwenang menyidik itu tindak pidana pajak adalah penyidik Ditjen pajak," kata Hotman di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (14/11/2016).

Hotman mengatakan transaksi fiktif yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp86 miliar itu tidak berdasar. Transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar dari Mobile-8 adalah peningkatan penjualan. Uang sebesar Rp10 miliar yang diterima Mobile-8 bukanlah kerugian negara yang disebabkan transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar pada 2007.

Dalam kasus pajak Mobile-8, negara malah untung sebesar Rp8 miliar dari hasil peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Kenapa timbul restitusi pajak? Hotman menjelaskan pada masa pajak 2004, Mobile-8 rugi. Karena rugi maka pada akhir tahun tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi sebelum kerugian dihitung pada akhir tahun, Mobile-8 membayar pajak (prepaid tax), oleh karena itu Mobile-8 berhak meminta kembali uang yang dibayarkan. "Di sini kekeliruan besar dari Kejaksaan Agung yang tidak memahami tentang apa itu restitusi pajak," kata Hotman.

Kasus ini sendiri berawal saat penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Di mana, dalam kurun waktu tersebut, PT Mobile 8 diduga telah memalsukan bukti transaksi dengan PT Jaya Nusantara hingga mencapai Rp80 miliar.

"PT Jaya Nusantara sebenarnya tidak mampu membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile 8. Namun transaksi direkayasa, seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya," ujar ketua tim penyidik perkara tersebut, Ali Nurudin.

Temuan transaksi palsu diperkuat keterangan saksi dari Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Ellyana Djaja. Ellyana Djaya mengatakan ada traksaksi senilai Rp80 miliar yang merupakan hasil manipulasi untuk menyiasati seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.

Bulan Desember 2007, PT Mobile-8 Telecom dua kali mentransfer uang, masing-masing sejumlah Rp50 miliar dan Rp30 miliar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.

Setahun kemudian, yakni 2008, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta menerima barang.
 
 

BACA JUGA: