JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka kasus dugaan restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom (kini, PT Smartfren) yang diduga telah merugikan negara sebesar Rp86 miliar. Kedua tersangka merupakan mantan direksi pada PT Mobile 8. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) khusus penetapan tersangka telah diteken oleh Direktur Penyidikan.

Hanya saja Kejaksaan Agung terkesan menutupi penetapan kedua tersangka tersebut. Kepastian adanya tersangka dalam kasus ini disampaikan jaksa yang enggan disebut namanya. Jaksa tersebut menyampaikan Sprindik khusus telah diteken dengan dua tersangka dari PT Mobile 8.

"Kalian pasti sudah tahu, tersangka dua direktur PT Mobile-8," kata jaksa tersebut.

Sinyal kepastian adanya tersangka dalam kasus ini sejatinya telah disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo usai melantik lima Kepala Kejaksaan Tinggi di Ruang Baharuddin Lopa, kemarin. Prasetyo meminta untuk menanyakan langsung kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah.

Namun, Jampidsus Arminsyah yang ditemui terpisah, justru menyarankan untuk menemui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum. "Silahkan tanya ke Kapuspenkum. Nanti, Beliau akan merilisnya," sarannya.

Sedangkan Rum ditemui di ruang kerjanya mengaku juga belum mendapat laporan nama-nama tersangka dalam kasus ini. "Belum ada yang bisa disampaikan, saya belum dapat laporannya," kata Rum, Kamis (27/10).

Kasus ini mulai disidik sejak awal Oktober 2015 lalu. Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi. Di antaranya Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi Ellyana Djaja, Komisaris PT. Bhakti Investama Hary Djaja, mantan Direktur Keuangan PT. Mobile 8 Telecom Lucy Suyanto, Mantan Komisaris PT. Mobile 8 Ir. Muhammad Budi Rustanto, mantan Dirut PT Mobile 8 Widyasmoro Sih Handayanto, Indro Tjahjono selaku Direktur PT. TDM Aset Manajemen dan Pasar Modal, serta Ali Chendra selaku Komisaris PT. TDM Aset Manajemen dan Pasar Modal.

TARIK MENARIK - Belum diumumkannya nama tersangka diduga karena ada tarik menarik kepentingan di dalam Kejaksaan. Awalnya, Jampidsus berencana menyampaikan nama tersangka kasus ini pada Senin (24/10). Namun ternyata pengumuman tersangka urung dilakukan.

"Saya nggak jawab, ini masih penyidikan," ujar Armin saat dicegat di lobi Gedung Bundar usai menemui Jaksa Agung M Prasetyo, di Gedung Utama.

Sementara Prasetyo sendiri mengakui telah menerima laporan perkembangan kasus Mobile-8 secara langsung dari Jampidsus adanya hasil audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp86 miliar termasuk nama-nama yang akan ditetapkan sebagai tersangka.

Dia menegaskan, dalam kasus ini kejaksaan tidak menangani kasus dugaan pajaknya, tetapi kasus dugaan korupsi dengan menggunakan sarana restitusi. Prasetyo juga memastikan penyidik bakal kembali memeriksa Hary Tanoesoedibjo selaku komisaris PT Mobil 8 Telecom. "Kalau diperlukan akan kami periksa lagi, siapapun kalau dibutuhkan kami periksa," kata Prasetyo.

Hary Tanoesoedibjo atau Hary Tanoe adalah seorang pengusaha dan tokoh politik asal Indonesia. Hary adalah pemilik dari MNC Group. Di bidang politik, dia merupakan pendiri dan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Partai Perindo). Ia pernah bergabung dalam Partai NasDem dan Partai Hanura.

Hary pendiri, pemegang saham, dan Presiden Eksekutif Grup PT. Bhakti Investama Tbk sejak tahun 1989. Bhakti Investama bergerak dalam bisnis manajemen investasi, yang membeli kepemilikan berbagai perusahaan, membenahinya, dan kemudian menjualnya kembali. Pada masa krisis ekonomi Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru, Hary melalui perusahaannya banyak melakukan merger dan akuisisi. Pada tahun 2000, Bhakti Investama mengambil alih sebagian saham PT Bimantara Citra Tbk, dan kemudian diubah namanya menjadi PT. Global Mediacom Tbk ketika mayoritas saham sudah dimilikinya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan jika sudah diperoleh audit kerugian negara dari auditor pemerintah dan atau negara, maka tim penyidik harusnya mengikuti dengan penetapan tersangka.

"Asumsinya, dengan diterbitkan Sprindik umum, tentu sudah ada minimal dua alat bukti. Apalagi sudah ada audit dari negara, tentu harus sudah diikuti penetapan tersangka," kata Fickar.

Kasus dugaan korupsi ini muncul setelah penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Di mana, dalam kurun waktu tersebut, PT Mobile 8 diduga telah memalsukan bukti transaksi dengan PT Jaya Nusantara hingga mencapai Rp 80 miliar.

"PT Jaya Nusantara sebenarnya tidak mampu untuk membeli barang dan jasa telekomunikasi milik PT Mobile 8. Namun transaksi direkayasa, seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya," ujar ketua tim penyidik perkara tersebut, Ali Nurudin, 21 Oktober 2015 silam.

Temuan transaksi palsu diperkuat keterangan saksi dari Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Ellyana Djaja. Ellyana Djaya mengatakan ada traksaksi senilai Rp 80 miliar yang merupakan hasil manipulasi untuk menyiasati seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.

Bulan Desember 2007, PT Mobile-8 Telecom dua kali mentransfer uang, masing-masing sejumlah Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.

Setahun kemudian, yakni 2008, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp 114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta menerima barang.

BACA JUGA: