JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fahri Hamzah terus mempersoalkan keabsahan Majelis Tahkim Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebelumnya keputusan badan inilah yang disebut-sebut alasan pemberhentian Fahri dari seluruh jenjang kepartaian PKS. Bidikan terhadap badan inilah  yang terus dilakukan Fahri dalam pengajuan gugatan perdata atas pemberhentiannya dari keanggotaan PKS.

Dalam Sidang lanjutan gugatan perdata terhadap DPP PKS di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kali ini, ia pun mengajukan saksi ahli untuk meminta penjelasan soal kedudukan dan kewenangan Majelis Tahkim. Majelis tahkim sebelumnya juga sempat dipersoalkan  Fahri dalam persidangan sebelumnya.

Saksi ahli yang dihadirkan Fahri kali ini adalah Laica Marzuki. Laica merupakan ahli administrasi negara yang juga sempat menjabat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2008.

Pada kesempatan itu Laica menerangkan kedudukan majelis tahkim PKS dan keputusan pemecatan Fahri Hamzah yang didasarkan pada percakapan informal bersama ketua majelis tahkim Salim Segaf Al Jufri. Menurutnya kedudukan mahkamah partai sesuai Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik harus mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM). Keterangan ahli tersebut, sekaligus membantah pendapat tergugat yang selama ini menyatakan bahwa Majelis Tahkim menurut mereka  tak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian terkait.

"Majelis tahkim harus disampaikan kepada Kemenkum HAM," kata Laica dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Senin (26/9).

Kalau susunan Majelis Tahkim tidak disahkan oleh Menkum HAM, menurut Laica, memiliki konsekuensi hukum. Semua keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Tahkim yang tak tercatat maka keputusannya tidak bisa mengikat dan cacat hukum. Dengan begitu, keputusan itu dapat dibatalkan melalui mekanisme pengadilan.

Selain masalah kedudukan Majelis Tahkim, soal keinginan partai PKS menarik Fahri Hamzah dari posisinya sebagai pimpinan DPR pun sempat dipersoalkan penggugat. Ahli saat ditanya perihal itu, apakah partai memiliki kewenangan menariknya karena Fahri merupakan kader PKS yang didelegasi menjadi Wakil Ketua DPR RI.

Menurut Laica, PKS bukanlah lembaga yang yang memiliki kewenangan menarik Fahri Hamzah dari pimpinan DPR. "Kan partai mengusulkan kepada pimpinan DPR. Artinya apa, kalau dia mengusulkan berarti dia tidak berwenang karena ini bukan mandataris tapi (delegation of autority)," jelasnya.

Dalam delegasi, sambung Laica, AD-ART tidak cukup kuat untuk menjadi dasar menarik Fahri Hamzah sebagai pimpinan DPR. Pasalnya, kewenangan partai tidak boleh bertabrakan dengan norma undang-undang. Sedangkan posisi wakil pimpinan DPR telah masuk pada aspek yang lebih luas dan diatur juga di dalam Tatib DPR dan UU lain.

"Kan disitu ada norma lain seperti UU MD3. Kewenangan partai kemudian berakhir dengan masuknya wilayah lain," ungkapnya.

Fahri Hamzah menggugat sejumlah petinggi Partai PKS diantaranya Tergugat I DPP PKS cq Sohibul Iman Presiden Partai PKS. Tergugat II, Muhammad Hidayat Nur Wahid, Surahman Hidayat , Sohibul Iman, Abdi Suamithi selaku ketua dan anggota majelis tahkim. Sedangkan tergugat III, Abdul Muis Saadih Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi  (BPDO).

Gugatan Fahri itu terkait putusan Majelis Tahkim yang memutuskan memberhentikan Fahri Hamzah dari semua jenjang keanggotaan Partai PKS. Tak terima dengan putusan tersebut, Fahri kemudian menempuh jalur hukum dengan mengajukan  gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta Selatan.

Ada pun bunyi pasal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 32 :
(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

Selain itu, pihak penggugat sempat meminta keterangan kepada ahli terkait Pasal 14 Tatib DPR. Menurut ahli, pasal tersebut tidak ada diskresi terkait penerapan pasal tersebut. Artinya, surat pengunduran diri pimpinan mesti ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal.

Ada pun bunyi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 Pasal 14 adalah:
(1) Pemberhentian Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh ketua umum atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

Kuasa hukum Fahri Hamzah, Mujahid A Latief menyatakan surat rekomendasi dari PKS yang ditujukan kepada pimpinan DPR hanya ditandatangani oleh presiden PKS dan Wakil Sekretaris Jenderal. "Yang tanda tangan presiden PKS dan Wasekjen," ungkap Mujahid.

Namun kuasa hukum tergugat menyatakan surat itu telah ditandatangani pimpinan partai. Karena itu dia tak sepakat jika penerapan Pasal 14 Tatib DPR dimaknai secara rigid seperti keterangan ahli dalam persidangan.

"Oleh pimpinan partai, ketua dan sekjen partai. Yang diajukan ke DPR. Sekjen PKS Taufik Ridho pada 8 Februari sudah mengundurkan diri sacara resmi. Suratnya sudah kita jadikan bukti di pengadilan," ungkapnya.

Padahal pada kondisi tertentu, imbuh Zainudin, harus disesuaikan dengan kondisi. Atas dasar itu, seperti pada kasus misalnya sekjen meninggal dunia, maka pendelegasian menjadi kemestian.

DASAR PEMECATAN DISOAL  - Fahri sendiri mengaku kecewa dengan langkah para pengambil kebijakan di Partai PKS yang memutuskan memecat dirinya. Fahri menganggap tidak ada kekuatan hukum yang kuat untuk dijadikan dasar pemecatannya, sehingga percakapan yang bersifat pribadi pun dipolitisir untuk memberikan dasar pemecatannya.

Sebelumnya dalam pertemuan antara Fahri bersama Salim Segaf Al Jufri sebelum pemecatannya. Terjadi percakapan, Salim Segaf meminta Fahri Hamzah untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil ketua DPR RI dari Fraksi PKS. Namun Fahri menolak mengundurkan diri, alasannya jika ia mengundurkan diri maka akan dilakukan kocok ulang pimpinan DPR dan PKS berpotensi akan kehilangan posisi di pimpinan DPR.  Percakapan itulah kemudian berujung pemecatan Fahri. Namun Fahri mengklaim percakapan tersebut sebagai percakapan pribadi,

Sejak awal, Fahri menuding dalam proses pemecatan itu sudah inkonstitusional. Dia menganggap apa pun keputusan partai politik harus dilakukan secara tertulis namun hal demikian sempat disampaikan tetapi tak diindahkan oleh Salim Segaf Al Jufri.

"Memang ini ada problem di PKS sendiri. Problemnya karena percakapan internal itu dianggap sebagai keputusan. Ini memang perbedaan saya dengan ketua majelis syuro. Saya bilang enggak bisa yang begini dieksekusi di ruang publik," ujar Fahri usai persidangan di PN Jakarta Selatan.

Menurut Fahri, pertemuan dengan  Salim Segaf dilakukan secara pribadi, kendati hal itu dianggap sebagai pemecatan, hal ini menjadi persoalan yang tak sederhana. Pasalnya, pemecatannya pun berkaitan dengan banyak norma dan undang-undang.

"Karena itu komplikasinya banyak karena mengikat partai lain juga mengikat lembaga lain. Cuma bantahan saya tidak dianggap akhirnya dijadikan dasar hukum," tegas Fahri.

Fahri menegaskan, awal percakapannya dengan Salim Segaf-lah yang menjadi sumber keputusan PKS memecatnya. Saksi ahli sendiri berpandangan partai politik merupakan badan hukum private. Dengan demikian apa pun langkah yang diambil oleh partai politik harus mengacu kepada konstitusi.

"Partai politik itu merupakan badan hukum private menjalankan konstitusional karena dia memiliki dimensi ketatanegaraan," ujarnya.

Sementara itu kuasa hukum tergugat Zainudin Paru menyatakan semua proses yang ditempuh terkait pemecatan Fahri telah melalui AD-ART partai PKS. Semua anggota partai mesti patuh terhadap keputusan partai politik.

Saat dilakukan proses pemecatan Fahri telah dipanggil sesuai mekanisme partai yakni AD ART partai PKS. Dengan begitu, ketika ada anggota partai tidak patuh dengan AD-ART maka perlu adanya penindakan.

"Di bawahnya ada pedoman partai yang melandasi sikap dan perbuatan yang harus dilakukan oleh pimpinan partai dan anggota partai. Segala hal yang diatur di situ jadi konstitusi yang mengikat internal," terangnya.

BACA JUGA: