JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak memahami narasi dan hukum bernegara. Pengelolaan PKS didasarkan pada prinsip yang secara sepihak dilegitimasi dari agama. Salah satu ciri yang menonjol dari model pengelolaan partai semacam itu adalah prinsip bahwa taat kepada pimpinan adalah segalanya.

"Saya bilang tidak bisa. Di ruang publik tidak bisa begitu. Ada hukum publik," kata Wakil Ketua DPR (aktif hingga Desember 2017) dari PKS, Fahri Hamzah, dalam acara peluncuran buku berjudul Buku Putih Fahri Hamzah: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol, yang dihadiri Gresnews.com, Jumat (21/2), di Jakarta.

Dalam kesempatan itu, Fahri bercerita tentang pemecatan dirinya dari PKS pada 11 Maret 2016, yang berlanjut dengan lengsernya salah satu pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) tersebut dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR dan digantikan oleh politisi PKS lainnya, Ledia Hanifa Amaliah. Fahri menggugat Presiden PKS Sohibul Iman dkk. Ia menang hingga tingkat kasasi dan PKS diperintahkan membayar ganti rugi Rp30 miliar. PKS mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang putusannya belum keluar hingga berita ini ditulis, seperti dibenarkan oleh penasihat hukum Fahri, Slamet Hasan, kepada Gresnews.com, Jumat (21/2).

Fahri menegaskan jabatan Wakil Ketua DPR bukan jabatan partai melainkan jabatan yang diberikan oleh rakyat. Harus ada jarak antara partai sebagai yang mencalonkan dan rakyat, yang memiliki kekuasaan itu, karena rakyat yang memilih.

"Karena itu di dalam diri seorang anggota dewan berlaku prinsip-prinsip dalam hukum publik. UU HAM, UU MD3 (MPR/DPR/DPRD/DPD), dan undang-undang lain," kata Fahri.

Konsep daulat rakyat itu, kata Fahri, yang menjadi awal perbincangannya dengan para tokoh PKS, dan PKS sebetulnya bimbang.

"Dia (PKS) di antara dua dunia, dunia agama dan dunia negara, sebagai gerakan yang waktu itu adalah gerakan, istilah orang itu, gerakan Tarbiyah," ujarnya.

Saat pemeriksaan di pengadilan, kata Fahri, PKS susah menang. Sebab, pembelaan PKS hanya didasarkan pada pernyataan-pernyataan pimpinan, sedangkan pihak Fahri mengajukan dalil yang didasarkan pada konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya.

"Jadi ya otomatis menang lah kita. Menang di PN (pengadilan negeri), menang di PT (pengadilan tinggi), dan menang di kasasi. Alhamdulillah, tapi sampai sekarang utang Rp30 miliar (PKS)," tuturnya.

Ia bercerita lagi, saat itu terjadi operasi senyap di dalam tubuh PKS. Kader-kader PKS yang pro dan seperjuangan dengan Fahri diberhentikan secara sepihak oleh pengurus, seperti (alm) Taufik Ridho. Perubahan struktur PKS itu terjadi sejak krisis menimpa PKS, ketika Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap KPK pada 30 Januari 2013 karena kasus korupsi di Kementerian Pertanian. Pergantian pengurus terjadi hingga ke tingkat daerah.

"Nah, yang terakhir yang mau diganti itu adalah posisi pimpinan di DPR. Yang lain dia ganti semua komisi-komisi dengan siapa. Tapi yang terakhir kau gigit saya. Ini operasi silent," kata Fahri.

Pada bagian lain dia menyatakan partai politik jangan sampai menjadi entitas milik pribadi, yang mendapatkan pembiayaan dari siapa saja yang mau membiayai. Karena merasa partai itu milik pribadi atau warisan orang tua, pengambilan keputusan partai pun menjadi tidak demokratis.

"Kalau kita mau menghindari korupsi di masa depan, menghindari oligarki, menghindari politik dinasti, dan sebagainya, (caranya) dengan memodernkan partai politik," ujarnya.

(G-2)

BACA JUGA: